Minggu, 20 April 2014

Pembelajaran Kontekstual (CTL)



 Tidak ada sebuah definisi atau pengertian tunggal mengenai pembelajaran kontekstual. Setiap pakar dan komunitas pakar memberikan definisi beragam. Namun mereka bersepakat bahwa hakekat pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang mendorong pembelajar untuk membangun keterkaitan, independensi, relasi-relasi penuh makna antara apa yang dipelajari dengan realitas, lingkungan personal, sosial dan kultural yang terjadi sekarang ini.
Beberapa definisi pembelajaran kontekstual yang pernah ditulis dalam beberapa sumber, yang dikemukakan oleh Nurhadi,dkk dalam bukunya “Kontekstual dan penerapannya dalam KBK”.
1.      Sistem CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya, dan budayanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem CTL akan menuntun siswa melalui kedelapan komponen utama CTL: melakukan hubungan yang bermakna, mengerjakan pekerjaan yang berarti, mengatur cara belajar sendiri, bekerjasama, berpikir kritis dan kreatif, memelihara/merawat pribadi siswa, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan assessment autentik.


2.      Pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa memperkuat, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademisnya dalam berbagai latar sekolah dan diluar sekolah untuk memecahkan seluruh persoalan yang ada dalam dunia nyata. Pembelajaran kontekstual terjadi ketika siswa menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah real yang berasosiasi dengan peranan dan tanggung jawab mereka sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, siswa, dan selaku pekerja. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual menekankan berfikir tingkat tinggi, transfer pengetahuan melalui disiplin ilmu, dan mengumpulkan, menganalisis dan mensintesiskan informasi dan data dari berbagai sumber dan sudut pandang.

3.      Pengajaran dan pembelajaran kontekstual adalah suatu konsepsi belajar mengajar yang membantu guru menghubungkan isi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, dan pekerja serta meminta ketekunan belajar. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual dilakukan dengan berbasis masalah, menggunakan cara belajar yang diatur sendiri, berlaku dalam berbagai macam konteks, memperkuat pengajaran dalam berbagai konteks kehidupan siswa, menggunakan penilaian autentik, dan menggunakan pula kelompok belajar yang bebas.

Definisi yang mendasar tentang pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata kedalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari; sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilannya dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari proses mengkontruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.

Pola pikir sentralistik dan uniformistik mewarnai pengemasan dunia pendidikan kita. Ada kecenderungan dalam dunia pendidikan dewasa ini bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak “mengalami” sendiri apa yang dialaminya, bukan “mengetahuinya”. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dari “kompetisi” mengingat jangka  pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka  panjang. Pendekatan kontekstual adalah suatu pendekatan pengajaran yang dari karakteristiknya memenuhi harapan itu.
Beberapa prinsip yang harus dikembangkan oleh guru dalam pembelajaran kontekstual adalah:
1.      Merencana pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental (developmentaly appropriate) peserta didik.
2.      Membentuk kelompok belajar yang saling tergantung (independent learning groups).
3.      Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri.
4.      Mempertimbangkan keragaman peserta didik.
5.      Memperhatikan multi-intelegensi.
6.      Menggunakan teknik-teknik bertanya (questioning) untuk meningkatkan pembelajaran peserta didik.
7.      Menerapkan penilaian autentik (authentic assessment) untuk mengevaluasi penerapan pengetahuan dan berpikir kompleks seorang siswa.
Elaine B.Johnson (2002) menyimpulkan bahwa dalam pembelajaran kontektual, minimal ada tiga prinsip utama, yaitu saling ketergantungan, diferensiasi, dan pengorganisasian diri.

1.      Prinsip saling ketergantungan
Menurut hasil kajian para ilmuwan modern segala yang ada di alam semesta ini adalah saling berhubungan dan tergantung. Segala yang ada, baik manusia maupun bukan manusia, mahluk hidup ataupun benda mati satu sama lain saling berhubungan dan bergantung membentuk pola dan jaring sistem hubungan yang teratur.
Prinsip saling ketergantungan alam semesta, juga berlaku dalam pendidikan dan pembelajaran. Sekolah merupakan suatu sistem kehidupan, yang terkait dengan kehidupan di rumah, di masyarakat dan di tempat kerja. Dalam kehidupan di sekolah siswa saling berhubungan dan tergantung dengan guru, kepala sekolah, tata usaha, orang tua, serta berbagai narasumber yang ada disekitarnya. Dalam proses pembelajaran siswa juga berhubungan dengan bahan ajar, buku sumber, media, sarana dan prasarana pendidikan, iklim sekolah, lingkungan, dll.
Saling berhubungan ini, bukan hanya terbatas pada memberikan dukungan, kemudahan, tetapi juga memberi makna, sebab makna hanya ada karena adanya hubungan yang berarti. Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang menekankan hubungan antara bahan ajaran dengan bahan lainnya, antara bahan yang bersifat konsep dengan penerapan dalam kehidupan, antara teori dengan praktek, antara suatu kegiatan lainnya, antara kegiatan seorang siswa dengan kegiatan siswa lainnya.
2.      Prinsip differensiasi
Differensiasi menunjukkan kepada sifat alam yang secara terus menerus menimbulkan perbedaan, keragaman, keunikan. Alam tidak pernah mengulang dirinya tetapi keberadaannya yang luar biasa dari alam semesta. Kalau dari pandangan agama kreativitas luar biasa tersebut bukan alam semestanya tetapi pencipta-Nya. Differensiasi bukan hanya menunjukkan perubahan dan kemajuan tanpa batas, tetapi juga kesatuan-kesatuan yang berbeda tersebut berhubungan, saling tergantung dalam keterpaduan yang bersifat simbiosis atau saling menggantungkan.
Apabila para pendidik memiliki keyakinan yang sama dengan para ilmuwan modern bahwa prinsip differensiasi yang dinamis ini bukan hanya berlaku dan berpengaruh pada alam semsta, tetapi juga pada sistem pendidikan. Para pendidik juga dituntut untuk mendidik, mengajar, melatih, membimbing sejalan dengan prinsip diferensiasi dan harmoni alam semesta ini. Proses pendidikan dan pembelajaran hendaknya dilaksanakan dengan menekankan kreatifitas, keunikan, variasi dan kolaborasi. Konsep-konsep tersebut bisa dilaksanakan dalam pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual berpusat pada siswa, menekankan aktivitas dan kreativitas siswa. Siswa berkolaborasi dengan teman-temannya ntuk melakukan pengamatan, menghimpun dan mencatat fakta dan informasi, menemukan prinsip-prinsip dan pemecahan masalah.
3.      Prinsip pengorganisasian diri
Setiap individu atau kesatuan dalam alam semesta mempunyai potensi yang melekat, yaitu kesadaran sebagai kesatuan utuh yang berbeda dari yang lain. Tiap hal memiliki organisasi diri, keteraturan diri, kesadaran diri, pemeliharaan diri sendiri, suatu energi atau kekuatan hidup, yang memungkinkan mempertahankan dirinya secara khas, berbeda dengan yang lainnya.
Prinsip organisasi diri, menuntut para pendidik dan pengajar di sekolah agar mendorong setiap siswanya untuk memahami dan merealisasikan semua potensi yang dimilikinya secara optimal mungkin. Pembelajaran kontekstual diarahkan untuk membantu para siswa mencapai keunggulan akademik, penguasaan keterampilan standar, pengembangan sikap dan moral sesuai dengan harapan masyarakat.
CTL  (Contextual Teaching and Learning) dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkah-langkah yang harus ditempuh dalam CTL adalah sebagai berikut.
1.      Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
2.      Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.
3.      Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
4.      Ciptakan masyarakat belajar.
5.      Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
6.      Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
7.      Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa didalam konteks berwarna yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang sedang dipelajari dan sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan individual siswa dan peranan guru. Sehubungan dengan itu maka pendekatan pengajaran kontekstual harus menekankan pada indikator-indikator berikut:


1.      Belajar berbasis masalah (problem-based learning)
Suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dengan materi pelajaran. Perlunya pendekatan pembelajaran berbasis masalah didasarkan pada kenyataan-kenyataan sebagai berikut:
a.       Pada dasarnya, berpikir terjadi dalam konteks memecahkan masalah, yaitu adanya kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan apa yang ada.
b.      Seseorang menjadi tertarik atau berminat mengerjakan sesuatu apabila berada dalam ruang lingkup atau berkaitan dengan masalah yang dihadapinya. Demikian pula dengan belajar.
c.       Pada saat mempelajari bahan pelajaran, siswa ingin segera mengetahui apa sebenarnya manfaat mempelajarinya, dan masalah apa sajakah yang dapat dipecahkan dengan pengetahuan atau bahan itu.
d.      Suatu kompetensi paling efektif dicapai oleh pelajar melalui serangkaian pengalaman pemecahan masalah realistik yang di dalamnya si pelajar secara langsung menerapkan unsur-unsur kompetensi tersebut.

2.      Pengajaran autentik (authenthic intruction)
Pendekatan pengajaran yang memperkenankan siswa untuk mempelajari konteks bermakna. Ia mengembangkan keterampilan berfikir dan pemecahan masalah yang penting dalam kehidupan nyata.

3.      Belajar berbasis inquiry (inquiry-based learning)
Membutuhkan strategi pengajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna.
Tujuan utama pembelajaran berbasis inkuiri menurut National Research Council (2000) adalah:
a.       Mengembangkan keinginan dan motivasi siswa untuk mempelajari prinsip dan konsep sains.
b.      Mengembangkan keterampilan ilmiah siswa sehingga mampu bekerja seperti layaknya seorang ilmuwan.
c.       Membiasakan siswa bekerja keras untuk memperoleh pengetahuan.
Melalui pembelajaran yang berbasis inkuiri, siswa belajar sains sekaligus juga belajar metode sains. Proses inkuiri memberi kesempatan kepada siswa untuk memiliki pengalaman belajar yang nyata dan aktif, siswa dilatih bagaimana memecahkan masalah sekaligus membuat keputusan. Pembelajaran berbasis inkuri memungkinkan siswa belajar sistem, karena pembelajaran inkuiri memungkinkan terjadi integrasi berbagai disiplin ilmu. Ketika siswa melakukan eksplorasi, akan muncul pertanyaan-pertanyaan yang melibat matematika, bahasa, ilmu sosial, seni, dan juga teknik. Peran guru di dalam pembelajaran inkuiri lebih sebagai pemberi bimbingan, arahan jika diperlukan oleh siswa. Dalam proses inkuiri siswa dituntut bertanggungjawab penuh terhadap proses belajarnya, sehingga guru harus menyesuaikan diri dengan kegiatan yang dilakukan oleh siswa, sehingga tidak menganggu proses belajar siswa.
Langkah pembelajaran inkuri, merupakan suatu siklus yang dimulai dari:
a.       Observasi atau pengamatan terhadap berbagai fenomena alam
b.      Mengajukan pertanyaan tentang fenomena yang dihadapi
c.       Mengajukan dugaan atau kemungkinan jawaban
d.      Mengumpulkan data berkait dengan pertanyaan yang diajukan
e.       Merumuskan kesimpulan kesimpulan berdasarkan data

4.      Belajar berbasis proyek/tugas (project-based learning)
Metoda belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktifitas secara nyata. PBL dirancang untuk digunakan pada permasalahan komplek yang diperlukan pelajar dalam melakukan insvestigasi dan memahaminya. Ada tiga kategori umum penerapan proyek untuk pelajar, yakni mengembangkan keterampilan, meneliti permasalahan dan menciptakan solusi. Kreatifitas dari suatu proyek membantu perkembangan pertumbuhan individu.

5.      Belajar berbasis kerja (work-based learning)
Memerlukan suatu pendekatan pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali di tempat kerja.

6.      Belajar berbasis jasa-layanan (service learning)
Suatu pendekatan pembelajaran yang mengkombinasikan jasa layanan masyarakat dengan suatu struktur berbasis sekolah, guna merefleksikan jasa-layanan tersebut. Jadi menekankan hubungan antara pengalaman jasa-layanan dan pembelajaran akademis. Dengan kata lain, pendekatan ini menyajikan suatu penerapan praktis dari pengetahuan baru yang diperlukan dan berbagi keterampilan untuk memenuhi kebutuhan dalam masyarkat melalui proyek/tugas terstruktur dan kegiatan lainnya.
Pembelajaran berbasis jasa layanan mengandung ciri bahwa:
a.       Melakukan hubungan yang bermakna, hal ini diwujudkan dengan kerjasama kelompok yang dilakukan dalam menyelesaikan tugas terstruktur.
b.      Bekerja sama guna penerapan praktis dari pengetahuan yang baru diketahui siswa.
c.       Melakukan kegiatan-kegiatan yang berarti melalui kegiatan yang bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan dalam masyarkat (jasa layanan yang berkaitan dengan tugas terstruktur).

7.      Belajar kooperatif (cooperative learning)
Memerlukan pendekatan pengajaran melalui pendekatan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam menggapai tujuan belajar. Dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap anggota saling kerjasama dan membantu untuk memahami suatu bahan pembelajaran.
Tujuan penting dari pembelajaran kooperatif adalah untuk rnengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi. Keterampilan ini amat penting untuk dimiliki didalam masyarakat di mana banyak kerja orang dewasa sebagian besar dilakukan dalam organisasi yang saling bergantung sama lain dan di mana masyarakat secara budaya semakin beragam. Sementara itu, banyak anak muda dan orang dewasa masih kurang dalam keterampilan sosial. Situasi ini dibuktikan dengan begitu sering pertikaian kecil antara individu dapat mengakibatkan tindak kekerasan atau betapa sering orang menyatakan ketidakpuasan pada saat diminta untuk berada dalam situasi kooperatif.
Dalam pembelajaran kooperatif tidak hanya mempelajari materi saja. Namun siswa juga harus mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut keterampilan kooperatif. Keterampilan kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan, kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat di bangun dengan mengembangkan komunikasi antar anggota kelompok sedangkan peranan tugas dilakukan dengan membagi tugas antar anggota kelompok selama kegiatan.


Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) atau yang biasa disebut dengan CTL memiliki 7 asaz. Sering kali asaz ini di sebut juga komponen-komponen CTL. Adapun tujuh asaz tersebut adalah:
1.      Konstruktivisme
Yaitu proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Menurut Piaget pendekatan konstruktivisme mengandung empat kegiatan inti, yaitu :
a.      Mengandung pengalaman nyata (Experience)
b.      Adanya interaksi sosial (Social interaction)
c.       Terbentuknya kepekaan terhadap lingkungan (Sense making)
d.      Lebih memperhatikan pengetahuan awal (Prior Knowledge).
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap diambil atau diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Berdasarkan pada pernyataan tersebut, pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan.
Sejalan dengan pemikiran Piaget mengenai kontruksi pengetahuan dalam otak. Manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda. Setiap kotak itu akan diisi oleh pengalaman yang dimaknai berbeda-beda oleh setiap individu. Setiap pengalaman baru akan dihubungkan dengan kotak yang  sudah berisi pengalaman lama sehingga dapat dikembangkan. Struktur pengetahuan dalam otak manusia dikembangkan melalui dua cara yaitu asimilasi dan akomodasi.
2.      Inkuiri
Merupakan proses pembelajaran yang didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berfikir secara sistematis. Inkuiri dapat diartikan juga sebagai proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Secara umum proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu :
a.       Merumuskan masalah
b.      Mengajukan hipotesis
c.       Mengumpulkan data
d.      Menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan
e.       Membuat kesimpulan.
Melalui proses berpikir yang sistematis, diharapkan  siswa  memiliki sikap ilmiah, rasional, dan logis untuk pembentukan kreativitas siswa.
3.      Bertanya (question)
Dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu, sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir. Bertanya  merupakan  strategi  utama  dalam  pembelajaran kontekstual. Kegiatan bertanya digunakan oleh guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa sedangkan bagi siswa kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis  inquiry.  Dalam  sebuah  pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk :
a.       Menggali informasi, baik administratif maupun akademis
b.      Mengecek pengetahuan awal siswa dan pemahaman siswa
c.       Membangkitkan respon kepada siswa
d.      Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa
e.       Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru
f.       Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa
g.      Menyegarkan kembali pengetahuan siswa
4.      Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep masyarakat belajar dalam CTL  menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain. Pengertian masyarakat belajar pada umumnya mencakup:
a.       Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman
b.       Siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis
c.       Siklus yang terdiri dari mengamati, bertanya, menganalisis dan merumuskan teori, baik perorangan maupun kelompok
d.      Diawali dengan pengamatan, lalu berkembang untuk memahami konsep/fenomena
e.       Mengembangkan dan menggunakan keterampilan berpikir kritis

5.      Pemodelan (Modeling)
Merupakan proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat dittiru oleh setiap siswa. Dalam arti  guru memberi model tentang “bagaimana cara belajar”. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukanlah satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa.
Menurut Bandura dan Walters, tingkah laku siswa baru dikuasai atau dipelajari mula-mula dengan mengamati dan meniru suatu model. Model yang dapat diamati atau ditiru siswa digolongkan menjadi :
a.       Kehidupan yang nyata (real life), misalnya orang tua, guru, atau orang lain.
b.      Simbolik (symbolic), model yang dipresentasikan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk gambar.
c.       Representasi (representation), model yang dipresentasikan dengan menggunakan alat-alat audiovisual, misalnya televisi dan radio.

6.      Refleksi
Merupakan proses pengendapan, pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya.
Guru harus dapat membantu peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan demikian, peserta didik akan memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya mengenai apa yang baru dipelajarinya.
Kuncinya adalah bagaimana pengetahuan dan keterampilan itu mengendap di jiwa peserta didik sehingga tercatat dan merasakan terhadap pengetahuan dan keterampilan baru tersebut.
Pada akhir proses pembelajaran sebaiknya guru menyisakan waktu agar peserta didik melakukan refleksi, yang diwujudkan dalam bentuk:
a.       Pernyataan langsung peserta didik tentang diperoleh hari itu
b.      Jurnal belajar di buku pribadi peserta didik
c.       Kesan dan saran peserta didik mengenai pembelajaran hari itu
7.      Penilaian nyata (Authentic Assessment)
Penilaian autentik merupakan proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa agar guru dapat memastikan apakah siswa telah mengalami proses belajar yang benar. Penilaian autentik menekankan pada proses pembelajaran sehingga data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran.
Karakteristik authentic assessment menurut Depdiknas (2003) di antaranya: dilaksanakan selama dan sesudah proses belajar berlangsung, bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif, yang  diukur keterampilan dan sikap dalam belajar bukan mengingat fakta, berkesinambungan, terintegrasi, dan dapat digunakan sebagai feedback. Authentic assessment biasanya berupa kegiatan yang dilaporkan, PR, kuis, karya siswa, prestasi atau penampilan siswa, demonstrasi, laporan, jurnal, hasil tes tulis dan karya tulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar