Jumat, 26 September 2014

Sedikit Tentangmu, Sahabat Kecilku



Sebenarnya aku merasa konyol menulis ini, tapi setidaknya setelah menulis ini aku berharap semua kekesalanku di masa lalu menghilang.
Aku punya seorang sahabat. Aku biasa manggil dia Ade dan itu membuat aku seolah-olah lebih tua daripada dia, padahal kalau aku sama dia bandingin akte kelahiran jelas-jelas dia lebih tua. Kadang mau ngikutin keluarganya manggil dia Enceng, tapi lidah rasanya keseleo kalau manggil dia kayak gitu.
Aku pertama ketemu sama dia waktu kelas 1 SD, di hari pertama kami mengenakan seragam putih merah. Persahabatan kami berawal dari menjadi teman sebangku. Aku masih ingat kalimat pertamanya untukku waktu itu. Kamu nangis, ya? Begitulah ucapan pertamanya saat melihat mataku berkaca-kaca. Kalimatnya terkesan mengejek, tapi kalau kalian mendengar caranya mengucapkan waktu itu, kalian pasti bakalan memikirkan hal yang sama denganku yaitu dia tidak berniat mengejek sama sekali. Nadanya lebih terdengar khawatir. Mungkin hari itu dia khawatir kalau orang-orang mengira dia yang membuatku menangis kalau sampai air mataku memang keluar.
Bisa dibilang si Ade ini temanku yang paling sabar. Tiap kali aku berulah, dia Cuma tersenyum ataupun tertawa. Dia teman yang tak pernah membuatku merasa aku nggak punya apa yang temanku punya. Saat aku tak punya buku paket, dia akan menyediakan buku paketnya untuk ku gunakan. Sampai sempat suatu hari aku menghilangkan buku paketnya, dan tau bagaimana reaksinya? Dia cuma diam. Mungkin dia marah, tapi dia juga tak menuntutku untuk menggantinya. Hari itu, untuk pertama kalinya, aku takut berada didekatnya.

Waktu kelas 3 SD, aku pernah membuatnya menangis. Sebenarnya kalau diusut, bukan aku yang membuat dia menangis. Jelas-jelas aku nggak ngapa-ngapain dia. Aku cuma ninggalin dia sebentar untuk main sama yang lain dan saat balik ke kelas ternyata dia sudah nangis. Nah lok, bukan salahku kan? Ya, meskipun teman satu kelas waktu itu pada nyalahin aku.
Dia sahabatku yang sangat ku sayang. Saat yang lain menjauhiku, dia tak pernah ikut menjauhiku. Saat aku marah-marah, dia hanya diam. Saat aku menjadi egois, dia selalu berada dalam garis mengerti. Tapi sikapnya yang terlalu baik itu kadang bikin aku merasa kalau aku ini nggak cocok jadi temannya.
Tapi aku pernah marah sama dia. Mungkin dia nggak sadar, tapi selama dua tahun terakhir aku sekelas sama dia di SMA, aku marah. Waktu kelas XI, untuk pertama kalinya aku benci sama dia.
Aku nggak masalah kalau dia lupa ulang tahunku. Aku nggak peduli kalau dia lebih senang merayakan hari kelahiran sepupuku dibandingkan dengan hari kelahiranku. Tapi aku nggak suka saat aku sudah mulai tersisih dari lingkaran persahabatannya.
Egois memang. Tapi aku lebih lama berteman dengannya. Aku lebih sering melihatnya menangis. Aku lebih lama mendengar keluh kesahnya, tapi kenapa saat mereka datang harus aku yang tersisihkan.
Hari pertama aku marah sama dia cuma karena hal sepele. Hari itu sedang pelajaran bahasa inggris. Kamus yang ku punya sangat tebal, jadi aku malas membawanya ke sekolah. Dan sialnya tiba-tiba guru bahasa inggrisku memberi tugas mengarang. Tau sendiri kan kalo kosakata bahasa inggris yang di tahu itu sedikit, sudah pasti dapat tugas mengarang itu rasanya arrrgggghhhh menyebalkan.
Hari itu untungnya Ade bawa kamus. Awalnya untung tapi kemudian buntung karena berawal dari kamus itulah aku marah. Mungkin hari itu emosiku juga lagi nggak stabil. Aku ingat, hari itu aku meminjam kamusnya terlebih dahulu. Entah saat itu dia nggak dengar atau bagaimana, tuh kamus bukannya dikasi ke aku eh malah dikasi ke teman yang duduk didepan bangku kami. Aku marah, tapi aku diam. Aku biarin aja, toh mungkin dia nggak dengar. Saat aku nanya satu kosakata, gk ada yang dengerin tapi kalo yang lain yang nanya pasti deh langsung dapat respon. Mulai hari itu aku sadar, indera pendengarannya udah tumpul untuk mendengar suaraku dan mulai hari itu juga aku sudah semakin tersisihkan.
Selanjutnya banyak kejadian yang bikin aku merasa aku nggak ada lagi dalam lingkaran persahabatannya dan membuat aku sadar, aku sudah tak memiliki tempatku lagi. Tempatku sudah diisi oleh teman-temannya yang jauh lebih asik dan juga nggak ngerepotin dia. Tapi aku nggak masalah, meskipun kesepian setidaknya ada lima orang asing yang tiba-tiba aja masuk dalam kehidupanku. Dan lucunya sampai sekarang aku merasa lima orang asing inilah yang setidaknya membuat masa putih abu-abuku berwarna.
Puncak kekesalanku yaitu saat dia pergi meninggalkanku saat pulang sekolah. Oke, aku sudah nggak satu genk sama dia lagi, tapi apa dia lupa kalau aku phobia angkot? Hari itu aku sangat marah. Dia nggak tahu, saat dia pergi aku menangis di kelas. Menangis ketakutan. Dia nggak tahu karena dia sudah pulang sekolah.
Hari itu aku betul-betul merasa sendiri dan nggak punya teman sama sekali. Hari itu, aku sadar aku sudah ditendang jauh dari lingkaran persahabatannya.
Tapi toh pada akhirnya tangisanku dihari itu tak bisa menghapus kenangan persahabatanku dengannya selama 10 tahun sebelumnya. Harusnya 12 tahun tapi sayangnya di dua tahun terakhir itu aku sudah terlempar jauh-jauh dari lingkaran persahabatannya.
Untuk Ade, terima kasih sudah jadi temanku..
Terima kasih karena tak pernah marah..
Terima kasih untuk semua hal yang sudah kamu lakuin buat aku yang aku sendiri tak tahu sudah berapa banyak itu..
Ade, maaf karena pernah menghilangkan buku fisikamu yang berharga..
Maaf karena pernah menuruti egoku dan akhirnya marah nggak jelas sama kamu..
Maaf karena nggak bisa jadi teman yang baik..
Maaf, karena akhirnya aku masih kadang iri dengan teman satu genkmu..
Suatu hari, suatu saat, entah bagaimana caranya, saat aku kembali, aku pasti bisa berada di posisiku saat SD kembali..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar