Senin, 20 Oktober 2014

KIMSOR PLANETNYA PARAMEN



Kimsor. Satu kata sederhana dengan hanya 6 huruf yang menyusunnya. Namun dari kata sederhana itulah kisah ini tercipta. Kisah yang diawali oleh 56 orang yang tak saling mengenal satu sama lain. Kimsor sama seperti pohon. Secermat apapun kita merawatnya, serajin apapun kita memupuknya, pasti akan ada beberapa ranting yang akhirnya akan patah. Dan karena beberapa ranting kimsor patah, akhirnya kisah ini hanya diakhiri oleh 53 orang.
Kimsor dengan 56 orang.
Pertemuan pertama hanya ada kesan asing dan aneh. Asing karena tak saling mengenal dan aneh karena tak tahu apa yang harus dilakukan. Berawal dari perkenalan secara umum oleh sekelompok orang yang kuasanya lebih tinggi kemudian dilanjut pemilihan ketua tingkat dengan kandidat yang memiliki visi dan misi super konyol. Pertemuan pertama kami kemudian diakhiri dengan pembuatan jarkom (jaringan komunikasi). Hari itu, hampir semua warga kimsor pulang dengan mendapatkan kenalan baru. Ya, hampir semua karena nyatanya saat itu aku tak mempunyai kenalan sama sekali.

Hari-hari selanjutnya biasa saja. Tak ada yang istimewa dari pertemuan-pertemuan warga kimsor kecuali jadwal kuliah yang ternyata cukup menguras energi.
Hari-hari istimewa kemudian didapat bermula dari praktikum. Melalui praktikum perlahan sebuah ikatan persahabatan terbentuk dan hubungan kekeluargaan pun terjalin. Awalnya praktikum menyenangkan, menegangkan, dan juga lelah. Awalnya baik-baik saja sampai akhirnya jumlah praktikum meningkat. Dari satu praktikum menjadi tiga praktikum. Keren..
Pernah sekali karena jadwal kuliah dan jadwal praktikum yang kelewat padat, ditambah lagi kegiatan ospek yang tiba-tiba nongol, secara serempak kami sakit. Sepertinya hari itu kami sudah sangat kompak.
Ah, kalau ngomongin ospek aku jadi ingat saat itu perlengkapan ospek cukup banyak. Gelas warna iodin 100 mL, piring aurum, sendok permanganat, badge bentuk naftalena ukuran 20 cm berwarna iodin dan permanganat, tali badge warna aurum iodin dan permanganat, badge ditulis menggunakan tinta aurum, roti seharga 2010, air aquos, air liquid, dan sepertinya masih ada yang terlupa. Saat itu rasanya mustahil mendapatkan barang-barang tersebut dalam waktu dekat. Tapi siapa sangka ternyata hal tersebut cukup mudah. Dengan kerjasama satu keluarga besar bermarga kimsor dan disaksikan ribuan bintang serta gedung belakang, semua itu selesai. Bahkan bedge yang bisa dibuat sendiri pun dibuat bersama-sama dan akhirnya secara serempak juga disuruh ganti karena tak sesuai dengan perintah panitia ospek.
Kimsor memang menakjubkan.
Setahuku dalam kimsor hanya ada tawa.
Namun tanpa kami sadari, saat kami semua sibuk tertawa lepas, ternyata ada satu jiwa yang tak menikmati tawa tersebut. Satu jiwa dengan bibir yang terkatup rapat saat kami tertawa. Satu bibir yang mungkin tak pernah ikut menyumbangkan suaranya didalam ladakan tawa kimsor. Dan akhirnya pemilik jiwa tersebut memutuskan untuk mematahkan satu ranting dari pohon kimsor yang tampak kokoh meski tertiup angin kencang. Hari itu aku sadar, saat itu kami hanya berlagak seolah-olah saling mengenal dengan baik padahal kami baru saja menapaki sebuah danau dangkal yang karena tak beriak sama sekali membuat kami terkecoh dan menganggap kami telah menapaki sebuah danau yang dalam.
Dan kimsor menjadi 55 orang.
Dari situ perlahan aku belajar mengenal teman-temanku dengan baik. Memperhatikan senyum tawa mereka dengan baik, memastikan tak ada satu orang pun yang tak hanyut dalam tawa kegilaan kimsor. Oke, terkadang aku mulai menyebut mereka gila karena hampir setiap hal yang mereka lakukan selalu jauh dari kata normal. Contohnya saja saat ada acara yudisium yang bertepatan dengan jadwal ujian. Bukannya belajar ataupun bersiap-siap mengikuti ujian, kami justru mengadakan konser dadakan mengikuti nyanyian di acara yudisium dengan suara yang nggak merdu dan juga nggak pelan sama sekali padahal saat itu di ruang sebelah sedang ada ujian. Saat ditegur oleh dosen yang sedang melaksanakan ujian, kami hanya diam kemudian beringsut masuk ke dalam kelas. Tapi jangan salah, konser kami berlanjut meski dengan suara pelas karena mendapatkan tatapan garang dari ketua tingkat.
Hari-hari kemudian terlewati dengan goresan-goresan kenangan yang berbeda dan juga dengan istilah baru yang entah siapa yang memulainya: JARKOM PANAS.
Pokoknya semenjak ada istilah jarkom panas, setiap setitik keanehan saja yang terlihat pasti akan ada teriakan jarkom panas yang herannya meskipun tak pernah menggunakan toak namun selalu terdengar jelas di kuping. Tepuk tangan buat warga kimsor yang mempunyai suara berisik super dahsyat.
Istilah-istilah aneh pun mulai bermunculan. Warga kimsor berubah menjadi paramen kimsor karena setiap warga – ralat – paramen saling menyapa selalu menggunakan kata men.
“men, dari mana men?”
“men, dosen nggak masuk katanya men”
“men, pinjam buku dong”
“men, saling tugas dong”
“men, ujian jangan lupa jarkom jawaban ya”
Nah, jadilah warga kimsor disebut paramen kimsor.
Tapi saat kebersamaan kami masih kurang, saat waktu yang dihabiskan bersama masih terasa tak cukup, satu paramen kimsor lagi-lagi mematahkan rantingnya. Satu ranting yang kadang menyendiri, satu ranting yang juga banyak bergerak, dan satu ranting yang lucu.
Dan kini paramen kimsor menjadi 54 orang.
Waktu berlalu. Ranting-ranting yang patah perlahan hanya hidup dalam kenangan masing-masing. Ranting-ranting yang masih bertahan tetap melanjutkan perjuangan, mengikuti arah angin yang terus berubah. Menentang hujan yang membasahi dan menerjang badai yang menghantam. Perlahan, ranting-ranting itu tanpa mereka sadari semakin kuat.
Namun sampai kapan tawa kebersamaan akan bertahan. Setinggi apapun sayap terkepak, akhirnya kami harus disadarkan jika masih ada bumi yang harus kami pijak. Melewati hari dengan tawa pada akhirnya harus membuat kami sadar bahwa suatu hari akan ada hari tanpa tawa. Akan ada hari dimana kami akan menangis.
Dan hari itu tiba. Lagi-lagi satu ranting patah. Namun kali ini ranting itu patah bukan karena keinginannya melainkan karena ranting itu dipaksa patah. Satu ranting kuat berhiaskan dedaunan indah secara paksa dipisahkan dari pohon kimsor. Hari itu, kimsor menangis. Hari itu, kimsor kehilangan. Dan hari itu, kimsor harus merelakan satu ranting indahnya terkubur didalam tanah yang lembab.
Dua ranting yang patah sebelumnya kini telah tertancap indah di tempat lain, namun ranting yang patah kali ini langsung jatuh dan hancur lebur tanpa sempat mengukir kisah lain ditempat lain.
Dan akhirnya kisah paramen kimsor hanya dilanjutkan oleh 53 orang.
Hari silih berganti. Bumi dengan setia masih mengitari sang pusat tata surya. Tak ada yang berubah. Begitu pula kami. Semua peristiwa berlalu sebagai kenangan yang kelak akan menjadi kisah indah untuk diceritakan kepada anak cucu. Seiring banyaknya kenangan yang terukir, semakin sedikit pula waktu yang dimiliki untuk mengukir kenangan. Satu persatu ranting mulai berubah. Tidak, mereka tidak patah. Mereka hanya berlomba memetik buah mereka yang tampak manis dan ranum, hasil perjuangan mereka melawan panas dan hujan. Satu persatu sang pemilik ranting pergi, membawa berjuta kenangan yang telah mereka ukir, membawa buah mereka untuk diperlihatkan pada dunia luas.
Seperti pepatah lama, dimana ada pertemuan disitu ada perpisahan. Kami bertemu, berjalan beriringan, tertawa bersama, menangis bersama, saling bergandengan tangan, saling menguatkan, dan akhirnya saling mengucapkan selamat tinggal.
Sampai jumpa paramen. Selamat berjuang dengan dunia baru kalian. Selamat mengukir kenangan baru ditempat kalian berpijak kini. Sampai jumpa di suatu waktu kelak, dimana kita diberi kesempatan bertemu kembali untuk berbagi kenangan yang berbeda.

2 komentar:

  1. Baca ini bikin mewek dan pengen rasanya pinjam mesin waktunya doraemon dan datang ke waktu dimana masa2 kita kuliah ����

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus