Kimsor. Satu kata sederhana dengan hanya
6 huruf yang menyusunnya. Namun dari kata sederhana itulah kisah ini tercipta.
Kisah yang diawali oleh 56 orang yang tak saling mengenal satu sama lain.
Kimsor sama seperti pohon. Secermat apapun kita merawatnya, serajin apapun kita
memupuknya, pasti akan ada beberapa ranting yang akhirnya akan patah. Dan
karena beberapa ranting kimsor patah, akhirnya kisah ini hanya diakhiri oleh 53
orang.
Kimsor dengan 56 orang.
Pertemuan pertama hanya ada kesan asing
dan aneh. Asing karena tak saling mengenal dan aneh karena tak tahu apa yang
harus dilakukan. Berawal dari perkenalan secara umum oleh sekelompok orang yang
kuasanya lebih tinggi kemudian dilanjut pemilihan ketua tingkat dengan kandidat
yang memiliki visi dan misi super konyol. Pertemuan pertama kami kemudian
diakhiri dengan pembuatan jarkom (jaringan komunikasi). Hari itu, hampir semua
warga kimsor pulang dengan mendapatkan kenalan baru. Ya, hampir semua karena
nyatanya saat itu aku tak mempunyai kenalan sama sekali.
Hari-hari selanjutnya biasa saja. Tak
ada yang istimewa dari pertemuan-pertemuan warga kimsor kecuali jadwal kuliah
yang ternyata cukup menguras energi.
Hari-hari istimewa kemudian didapat
bermula dari praktikum. Melalui praktikum perlahan sebuah ikatan persahabatan terbentuk
dan hubungan kekeluargaan pun terjalin. Awalnya praktikum menyenangkan,
menegangkan, dan juga lelah. Awalnya baik-baik saja sampai akhirnya jumlah
praktikum meningkat. Dari satu praktikum menjadi tiga praktikum. Keren..
Pernah sekali karena jadwal kuliah dan
jadwal praktikum yang kelewat padat, ditambah lagi kegiatan ospek yang
tiba-tiba nongol, secara serempak kami sakit. Sepertinya hari itu kami sudah
sangat kompak.
Ah, kalau ngomongin ospek aku jadi ingat
saat itu perlengkapan ospek cukup banyak. Gelas warna iodin 100 mL, piring
aurum, sendok permanganat, badge bentuk naftalena ukuran 20 cm berwarna iodin
dan permanganat, tali badge warna aurum iodin dan permanganat, badge ditulis
menggunakan tinta aurum, roti seharga 2010, air aquos, air liquid, dan
sepertinya masih ada yang terlupa. Saat itu rasanya mustahil mendapatkan
barang-barang tersebut dalam waktu dekat. Tapi siapa sangka ternyata hal
tersebut cukup mudah. Dengan kerjasama satu keluarga besar bermarga kimsor dan
disaksikan ribuan bintang serta gedung belakang, semua itu selesai. Bahkan
bedge yang bisa dibuat sendiri pun dibuat bersama-sama dan akhirnya secara
serempak juga disuruh ganti karena tak sesuai dengan perintah panitia ospek.
Kimsor memang menakjubkan.
Setahuku dalam kimsor hanya ada tawa.
Namun tanpa kami sadari, saat kami semua
sibuk tertawa lepas, ternyata ada satu jiwa yang tak menikmati tawa tersebut.
Satu jiwa dengan bibir yang terkatup rapat saat kami tertawa. Satu bibir yang
mungkin tak pernah ikut menyumbangkan suaranya didalam ladakan tawa kimsor. Dan
akhirnya pemilik jiwa tersebut memutuskan untuk mematahkan satu ranting dari
pohon kimsor yang tampak kokoh meski tertiup angin kencang. Hari itu aku sadar,
saat itu kami hanya berlagak seolah-olah saling mengenal dengan baik padahal
kami baru saja menapaki sebuah danau dangkal yang karena tak beriak sama sekali
membuat kami terkecoh dan menganggap kami telah menapaki sebuah danau yang
dalam.
Dan kimsor menjadi 55 orang.
Dari situ perlahan aku belajar mengenal
teman-temanku dengan baik. Memperhatikan senyum tawa mereka dengan baik,
memastikan tak ada satu orang pun yang tak hanyut dalam tawa kegilaan kimsor.
Oke, terkadang aku mulai menyebut mereka gila karena hampir setiap hal yang
mereka lakukan selalu jauh dari kata normal. Contohnya saja saat ada acara
yudisium yang bertepatan dengan jadwal ujian. Bukannya belajar ataupun
bersiap-siap mengikuti ujian, kami justru mengadakan konser dadakan mengikuti
nyanyian di acara yudisium dengan suara yang nggak merdu dan juga nggak pelan
sama sekali padahal saat itu di ruang sebelah sedang ada ujian. Saat ditegur
oleh dosen yang sedang melaksanakan ujian, kami hanya diam kemudian beringsut
masuk ke dalam kelas. Tapi jangan salah, konser kami berlanjut meski dengan
suara pelas karena mendapatkan tatapan garang dari ketua tingkat.
Hari-hari kemudian terlewati dengan
goresan-goresan kenangan yang berbeda dan juga dengan istilah baru yang entah
siapa yang memulainya: JARKOM PANAS.
Pokoknya semenjak ada istilah jarkom
panas, setiap setitik keanehan saja yang terlihat pasti akan ada teriakan
jarkom panas yang herannya meskipun tak pernah menggunakan toak namun selalu
terdengar jelas di kuping. Tepuk tangan buat warga kimsor yang mempunyai suara
berisik super dahsyat.
Istilah-istilah aneh pun mulai
bermunculan. Warga kimsor berubah menjadi paramen kimsor karena setiap warga – ralat
– paramen saling menyapa selalu menggunakan kata men.
“men, dari mana men?”
“men, dosen nggak masuk katanya men”
“men, pinjam buku dong”
“men, saling tugas dong”
“men, ujian jangan lupa jarkom jawaban
ya”
Nah, jadilah warga kimsor disebut
paramen kimsor.
Tapi saat kebersamaan kami masih kurang,
saat waktu yang dihabiskan bersama masih terasa tak cukup, satu paramen kimsor
lagi-lagi mematahkan rantingnya. Satu ranting yang kadang menyendiri, satu
ranting yang juga banyak bergerak, dan satu ranting yang lucu.
Dan kini paramen kimsor menjadi 54
orang.
Waktu berlalu. Ranting-ranting yang
patah perlahan hanya hidup dalam kenangan masing-masing. Ranting-ranting yang
masih bertahan tetap melanjutkan perjuangan, mengikuti arah angin yang terus
berubah. Menentang hujan yang membasahi dan menerjang badai yang menghantam.
Perlahan, ranting-ranting itu tanpa mereka sadari semakin kuat.
Namun sampai kapan tawa kebersamaan akan
bertahan. Setinggi apapun sayap terkepak, akhirnya kami harus disadarkan jika
masih ada bumi yang harus kami pijak. Melewati hari dengan tawa pada akhirnya
harus membuat kami sadar bahwa suatu hari akan ada hari tanpa tawa. Akan ada
hari dimana kami akan menangis.
Dan hari itu tiba. Lagi-lagi satu
ranting patah. Namun kali ini ranting itu patah bukan karena keinginannya
melainkan karena ranting itu dipaksa patah. Satu ranting kuat berhiaskan
dedaunan indah secara paksa dipisahkan dari pohon kimsor. Hari itu, kimsor
menangis. Hari itu, kimsor kehilangan. Dan hari itu, kimsor harus merelakan
satu ranting indahnya terkubur didalam tanah yang lembab.
Dua ranting yang patah sebelumnya kini
telah tertancap indah di tempat lain, namun ranting yang patah kali ini
langsung jatuh dan hancur lebur tanpa sempat mengukir kisah lain ditempat lain.
Dan akhirnya kisah paramen kimsor hanya
dilanjutkan oleh 53 orang.
Hari silih berganti. Bumi dengan setia
masih mengitari sang pusat tata surya. Tak ada yang berubah. Begitu pula kami.
Semua peristiwa berlalu sebagai kenangan yang kelak akan menjadi kisah indah
untuk diceritakan kepada anak cucu. Seiring banyaknya kenangan yang terukir,
semakin sedikit pula waktu yang dimiliki untuk mengukir kenangan. Satu persatu
ranting mulai berubah. Tidak, mereka tidak patah. Mereka hanya berlomba memetik
buah mereka yang tampak manis dan ranum, hasil perjuangan mereka melawan panas
dan hujan. Satu persatu sang pemilik ranting pergi, membawa berjuta kenangan
yang telah mereka ukir, membawa buah mereka untuk diperlihatkan pada dunia
luas.
Seperti pepatah lama, dimana ada
pertemuan disitu ada perpisahan. Kami bertemu, berjalan beriringan, tertawa
bersama, menangis bersama, saling bergandengan tangan, saling menguatkan, dan
akhirnya saling mengucapkan selamat tinggal.
Sampai jumpa paramen. Selamat berjuang
dengan dunia baru kalian. Selamat mengukir kenangan baru ditempat kalian
berpijak kini. Sampai jumpa di suatu waktu kelak, dimana kita diberi kesempatan
bertemu kembali untuk berbagi kenangan yang berbeda.
Baca ini bikin mewek dan pengen rasanya pinjam mesin waktunya doraemon dan datang ke waktu dimana masa2 kita kuliah ����
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus