Aku memandangnya dari jauh. Membelai
pelan pipinya yang putih melalui indera penglihatanku. Mencuri dengar canda
tawanya yang terdengar seperti alunan melodi indah di indera pendengaranku.
Ingin rasanya berada di antara kumpulan teman-temannya yang saat ini larut
dalam canda bersamanya namun aku sadar hal itu tak mungkin mengingat aku dan
dia telah sepakat membangun sebuah tembok pemisah antara kami berdua.
Apalah arti cinta
Bila
aku tak bisa memilikimu
Aku berjalan menyusuri koridor sekolahku
yang sudah sepi. Jelas saja sepi, jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Jangankan
siswa-siswi di sekolahku, satpam sekolah saja aku yakin sudah pulang atau
setidaknya sedang siap-siap untuk pulang. Terima kasih banyak deh buat bu Mida
yang telah menyuruhku menulis ulang 25 halaman materi sejarah sebelum pulang
sekolah sebagai hukuman karena telah tidur di kelasnya dan membuatku pulang
kesorean.
Aku menggerakkan leherku ke kiri dan ke
kanan, melemaskan otot-ototnya yang terasa sangat kaku akibat terlalu lama
menunduk saat menulis. Kembali ku susuri koridor sekolahku dengan cepat sambil
berdoa semoga masih ada angkot yang lewat didekat sekolah karena aku
betul-betul tak sanggup lagi jika harus berjalan keluar gang sekolahku yang
jaraknya cukup jauh untuk mencari angkot.
Langkahku yang tadinya cepat tiba-tiba
terhenti ketika mendapati sosok yang selalu diam-diam ku perhatikan sedang
tersenyum manis ke arahku seraya menggoyang-goyangkan kunci motor dihadapannya
seolah memamerkan kunci tersebut kepadaku. Aku balas tersenyum, mengerti
maksudnya melakukan hal tersebut.
“kok masih di sekolah, Vin?” tanyaku
seraya menghampirinya, menghapus jarak antara kami berdua.
“nungguin seseorang yang kata Rio tadi
kedapetan ketiduran di kelas sampai dihukum sama bu Mida” ucapnya dengan nada
mengejek kemudian berbalik memunggungiku dan berjalan menuju parkiran tanpa
menungguku yang tinggal beberapa langkah lagi sampai disampingnya.
Aku tertawa mendengar ucapannya. Bukan
karena lucu, hanya saja aku merasa senang karena ini merupakan percakapan pertama
kami setelah selama lebih dua bulan kami saling menghindar.
“tungguin dong, Vin” rengekku, berharap
dia menungguku agar aku bisa berjalan berdampingan dengannya. Namun dia tetap
saja melangkah dengan cueknya tanpa mengacuhkan rengekanku. “Alvin jahat ih”
rengekku lagi dengan manja.
Langkahnya terhenti, namun hanya sesaat
karena dengan cepat dilanjutkannya lagi langkahnya tersebut tanpa menoleh
sedikitpun.
“aku takut, Shil. Aku takut tembok yang
sudah susah payah kita bangun bakalan dengan mudah ku runtuhkan kalau kita
terlalu dekat” ucapnya lirih tanpa menghentikan langkahnya sedikitpun.
Aku tersenyum getir, mengerti maksud
ucapannya. Kini aku kembali melangkahkan kakiku dalam diam. Otot kaku dileherku
kembali terasa, padahal beberapa saat yang lalu aku sempat melupakannya.
“naik, Shil” ucapnya seraya menyodorkan
sebuah helm ke arahku tanpa menoleh sama sekali. Tampak sekali jika dia mencoba
menghindariku.
“aku naik angkot aja, Vin. Kalo aku
duduk di boncengan motormu, jarak kita pasti sangat dekat” ucapku menolak.
“dan aku bakalan ngabisin sepanjang
malamku dengan gelisah karena nggak tahu kamu sudah sampai di rumah atau nggak”
ucapnya tajam yang membuat aku dengan cepat meraih helm yang tadi disodorkannya
ke arahku. “lagipula kalau kamu duduk diboncenganku, aku nggak bisa ngeliat
kamu” lanjutnya lirih setelah aku duduk di boncengan motornya.
Aku pikir dia sudah tak peduli lagi
padaku, tapi ternyata pikiranku salah. Dia masih sama seperti dulu. Sifatnya
yang selalu khawatir berlebihan padaku juga sepertinya tak berubah sama sekali
meski tak pernah ditunjukkannya.
Apalah arti cinta
Bila
pada akhirnya takkan menyatu
“Shil,
kamu mau nggak jadi pacarku?” ucap Alvin sambil menggaruk tengkuknya yang
sepertinya tak gatal sama sekali. Aku tersenyum melihatnya salah tingkah
seperti sekarang. Kapan lagi coba melihat seorang Alvin yang tingkat
kepercayaan tingginya sudah overdosis salah tingkah?
“nggak”
ucapku kemudian tertawa saat melihat ekspresi kaget Alvin yang lucu. “nggak
nolak” ucapku lagi yang membuat Alvin langsung memelukku erat.
Bahagia?
Sudah jelas. Siapa sih yang nggak bahagia kalau bisa bersama dengan pujaan
hati.
Namun
didalam kebahagiaan kami terselip kegelisahan dan ketakutan didalam hatiku.
Entah Alvin juga merasakannya atau tidak, tapi yang pastinya ketakutan serta
kegelisahan itu semakin hari semakin besar.
Sesulit inikah jalan takdirku
Yang
tak inginkan kita bahagia
“Vin,
katanya hari minggu ntar tim basket SMA kita ada pertandingan persahabatan sama
SMA sebelah. Kita nonton yuk? Rio kan ikutan main” tanyaku saat aku dan Alvin
duduk dipinggir koridor kelas yang langsung berhadapan dengan lapangan basket
sambil memperhatikan pemain basket unggulan sekolah kami latihan. Sebenarnya
aku tak terlalu menyukai basket, tapi karena Rio – sepupu kesayanganku – jadi
pemain inti tim basket, aku jadi sering menyempatkan diri untuk menonton
pertandingan basket.
“aku
ibadah, Shil. Ada kegiatan keagamaan juga di gereja. Kamu nonton sama Ify aja
ya. Dia pasti nonton kan buat ngasi semangat pacar tercintanya ” ucapnya, ada
nada tak enak dari ucapannya. “kalau sempat, aku nyusul” lanjutnya lagi berucap
saat tak mendapati balasan sama sekali dariku.
Inilah
ketakutanku. Bukan, bukan karena aku tak bisa jalan sama dia pada hari minggu
tapi lebih karena dia ibadah hari minggu. Ketakutan terbesarku karena jadwal
ibadah kami berbeda, karena tempat ibadah kami berbeda dan karena cara kami
beribadah serta menyebut Tuhan kami berbeda. Hari minggu selalu memberi tekanan
tersendiri untukku karena selalu mengingatkanku akan perbedaan kami yang
terlalu mencolok.
@@@@@@@
Aku
berjalan keluar gedung olahraga tempat pertandingan persahabatan basket diadakan
sambil bercanda dengan Rio dan Ify. Pertandingan persahabatan tersebut
dimenangkan oleh sekolahku dengan perbedaan skor yang cukup tipis.
“eh,
Shil, Alvin datang tuh” ucap Ify seraya menunjuk ke satu arah. Aku mengikuti
arah telunjuknya dan mendapati Alvin sedang berjalan menghampiri kami. Aku
tersenyum. Dia menepati janjinya untuk datang setelah kegiatannya di gereja
selesai, meskipun kedatangannya sangat telat.
Aku
melambaikan tanganku ke arahnya dan dibalas dengan lambaian tangan serta senyum
hangat darinya. Senyum yang selalu aku suka dan tak pernah sedikitpun aku bosan
melihatnya.
“pertandingannya
sudah selesai” ucapku saat Alvin sudah berdiri dihadapanku dan mengacak pelan
rambutku, kegiatan rutinnya tiap bertemu denganku.
“nggak
papa. Gimana hasil pertandingannya, Yo?” ucapnya kemudian bertanya pada Rio
yang berdiri tepat disampingku. Rio kemudian menceritakan pertandingan barusan
pada Alvin, membuat aku dan Ify hanya menggelengkan kepala secara serentak
karena keduanya langsung terlibat pembicaraan seru dan melupakan aku dan Ify
yang masih berdiri didekat mereka.
“Fy,
aku curiga deh kalo kita ini cuma kedok buat nutupin kemahoan mereka berdua”
bisikku pelan yang disambut dengan cekikikan oleh Ify. Tak lama, dua buah jari
sudah bertengger manis di telingaku kemudian secara brutal ditarik tanpa ampun.
“barusan
ngomong apaan?” tanya Alvin, sang tersangka penindasan terhadap telingaku yang
aku yakini sudah memerah.
“nggak
ngomong apa-apa kok, Vin” kilahku seraya tersenyum manis yang langsung di
hadiahi tatapan curiga oleh Alvin.
“aku
sama Rio denger tau kamu bisikin apa ke Ify” ucapnya kemudian mencubit kedua
pipiku yang membuatku tertawa.
Aku
selalu suka dengan semua perlakuan Alvin terhadapku. Dia memang tak pernah
bersikap romantis terhadapku dan lebih cenderung cuek atau kalau tidak ya
seperti sekarang ini, mencubit atau menjewer telingaku tanpa ampun. Tapi aku
suka dengan caranya tersebut. Setidaknya dia tak berusaha menjadi romantis dan
membuat dia berubah menjadi orang lain. Demi apapun juga, aku nggak bisa
ngebayangin kalau Alvin ngikutin Rio yang sangat sering melontarkan
kalimat-kalimat gombalnya ke Ify.
Aku
membalas cubitan Alvin tadi dengan menggelitikinya karena dia termasuk orang
yang mudah geli dan aku selalu memanfaatkan kelemahannya itu untuk membalasnya
tiap kali dia mengerjaiku ataupun menyubitku.
Alvin
mengelak, namun tetap tak bisa menghindari serangan tanganku yang semakin
brutal menggelitikinya. Aku tertawa, menikmati aksi pembalasanku terhadap
Alvin. Alvin sendiri yang sudah kewalahan menghindari gelitikanku akhirnya
menarikku ke pelukannya dan membuatku tersentak kaget. Tidak, aku tak kaget
karena tiba-tiba dipeluk. Hanya saja aku kaget melihat kalung yang tergantung
indah di lehernya dan liontin dari kalung tersebut kini berada tepat didepan
mataku. Liontin dengan bentuk salib.
Lagi-lagi
ketakutan itu bertambah. Kegelisahan itu meningkat. Dan perbedaan kami semakin
mencolok. Tasbihku takkan pernah bersanding dengan salibnya. Aku tahu itu.
“sudah
nggak usah diliatin” ucapnya kemudian memasukkan kalungnya kedalam kemeja biru
yang sedang dipakainya.
Aku
tersenyum getir kemudian mendongak menatap Alvin yang tlebih tinggi dariku. Dan
saat itulah aku melihat pancaran ketakutan serta kegelisahan yang sama dengan
yang ku rasakan dimatanya.
Bila aku tak berujung denganmu
Biarkan
kisah ini ku kenang selamanya
“Shilla,
kamu tahu kan mama sayang sama kamu?” tanya mama saat aku dan mama sedang
menonton acara berita di sebuah stasiun swasta. Aku mengangguk, masih bingung
dengan maksud pernyataan mama. “kamu sayang nggak sama mama?” lanjut mama lagi
bertanya. Aku mengerutkan kening, menerka-nerka kemana arah pembicaraan mama.
“ya
sayang lah, ma” jawabku jelas.
“kalau
kamu sayang mama, kamu putusin Alvin ya sayang” ucap mama lembut namun
terdengar seperti ledakan sebuah bom di telingaku.
“kenapa,
ma?” tanyaku getir. “mama nggak suka ya sama Alvin?”
Mama
memelukku, menyalurkan kasih sayangnya terhadapku. Mungkin juga mama sedang
mengalirkan energi kepadaku karena kini aku terlihat lemah dengan air mata yang
secara perlahan turun membasahi pipiku.
“mama
suka sama Alvin. Sangat suka malah. Dia baik dan sopan. Dia selalu jagain kamu
dengan baik. Setidaknya kalau kamu sama dia mama tenang. Mama selalu yakin
kalau kamu pasti akan aman kalau sama dia. Tapi kalian beda, Fy. Perbedaan
kalian terlalu mencolok untuk disamarkan. Lebih baik kalian mengakhirinya
sekarang daripada nanti saat rasa sayang kalian semakin besar. Saat kalian
menjadi saling ketergantungan” jelas mama tanpa melepaskan pelukannya dariku. Ada
isakan kecil yang tertahan dari bibir mama. Aku tahu, mama juga berat dengan
keputusan yang diambilnya sekarang mengingat mama cukup dekat dengan Alvin dan
juga sangat menyukai Alvin yang selalu menjagaku saat penjagaan mama tak mampu
menyertaiku.
Tuhan tolong buang rasa cintaku
Jika
tak kau izinkan aku bersamanya
“Vin,
kita putus ya” ucapku saat Alvin sedang datang berkunjung ke rumahku setelah
beribadah. Aku menatapnya yang hari itu tampak gagah seperti biasanya dalam
balutan kemeja, tampilan khasnya tiap pergi ke gereja. Kalung salib masih
tergantung indah di lehernya.
“kenapa,
Shil?” tanyanya. Ada kegetiran dari nada suaranya.
“kita
beda, Vin. Aku yakin kamu juga sadar hal itu” ucapku menjelaskan kemudian
berhenti sejenak, menunggu reaksi darinya. Namun saat tak ada reaksi sama
sekali darinya selain tatapan yang tampak jelas sedang terluka, aku melanjutkan
penjelasanku dengan linangan air mata. “tasbihku dan salibmu berbeda. Kitab yang
kita baca berbeda. Cara kita beribadah terlalu berbeda. Kita nggak bisa
berdampingan saat aku menengadahkan tanganku dan kamu menautkan jari-jemarimu. Perbedaan
kita terlalu mencolok saat kita menyebut Tuhan dalam panggilan yang berbeda. Kita
beda, Vin” lanjutku menjelaskan sengan terisak sambil sesekali menyeka air mata
yang sepertinya tak mau berhenti tuk mengalir. Alvin menghapus air mataku
kemudian menarikku dalam pelukannya, membuat air mataku yang tadinya mulai bisa
tertahan kembali keluar.
“jangan
nangis” ucapnya lembut, menyuruhku berhenti menangis padahal saat ini air
matanya juga sedang mengalir membasahi pipi putihnya. “maaf karena sudah
membawamu ke situasi ini. Maaf karena sesaat aku lupa akan perbedaan itu”
Inilah saatnya aku harus melepaskan dirimu
“makasih ya, Vin. Mau mampir dulu nggak?”
ucapku saat turun dari boncengan motornya kemudian menyerahkan kembali helm
yang tadi ku pakai.
“nggak usah, udah mau maghrib. Salam aja
buat mama” ucapnya kemudian mengacak pelan rambutku. Alvin memang memanggil
mama dengan panggilan yang sama seperti aku memanggil mama.
“hati-hati ya, Vin” ucapku pelan dan
tanpa terasa air mataku mengalir di pipiku. Demi apapun juga, aku sangat
merindukannya. Merindukannya yang hanya berbeda kelas denganku namun tak bisa
ku gapai. Merindukannya yang selalu dekat namun terhalangi oleh tembok tak
kasat mata yang telah kami bangun dengan susah payah.
“jangan nangis” ucapnya lembut, sama
persis seperti hari dimana aku meminta putus. Tangan kanannya terulur menghapus
air mataku lembut. “udah gede juga, masih aja cengeng” ucapnya kemudian
mencubit kedua pipiku.
“biarin”
“udah ya, aku pulang” ucapnya kemudian
betul-betul pergi dari hadapanku.
Aku memperhatikan punggungnya yang semakin menjauh kemudian menghilang di pertigaan jalan kompleks rumahku. Aku tersenyum getir, sadar kebersamaanku barusan dengannya kembali berakhir karena besok pasti tembok tak kasat mata yang menghalangi kami berdua akan semakin menjulang tinggi.
Dulu, aku melepaskannya di jalan ini. Dan kini, di jalan yang sama aku kembali melepaskannya.
Aku memperhatikan punggungnya yang semakin menjauh kemudian menghilang di pertigaan jalan kompleks rumahku. Aku tersenyum getir, sadar kebersamaanku barusan dengannya kembali berakhir karena besok pasti tembok tak kasat mata yang menghalangi kami berdua akan semakin menjulang tinggi.
Dulu, aku melepaskannya di jalan ini. Dan kini, di jalan yang sama aku kembali melepaskannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar