Selasa, 21 Oktober 2014

Songfic: Apalah Arti Cinta



Aku memandangnya dari jauh. Membelai pelan pipinya yang putih melalui indera penglihatanku. Mencuri dengar canda tawanya yang terdengar seperti alunan melodi indah di indera pendengaranku. Ingin rasanya berada di antara kumpulan teman-temannya yang saat ini larut dalam canda bersamanya namun aku sadar hal itu tak mungkin mengingat aku dan dia telah sepakat membangun sebuah tembok pemisah antara kami berdua.
Apalah arti cinta
Bila aku tak bisa memilikimu
Aku berjalan menyusuri koridor sekolahku yang sudah sepi. Jelas saja sepi, jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Jangankan siswa-siswi di sekolahku, satpam sekolah saja aku yakin sudah pulang atau setidaknya sedang siap-siap untuk pulang. Terima kasih banyak deh buat bu Mida yang telah menyuruhku menulis ulang 25 halaman materi sejarah sebelum pulang sekolah sebagai hukuman karena telah tidur di kelasnya dan membuatku pulang kesorean.

Aku menggerakkan leherku ke kiri dan ke kanan, melemaskan otot-ototnya yang terasa sangat kaku akibat terlalu lama menunduk saat menulis. Kembali ku susuri koridor sekolahku dengan cepat sambil berdoa semoga masih ada angkot yang lewat didekat sekolah karena aku betul-betul tak sanggup lagi jika harus berjalan keluar gang sekolahku yang jaraknya cukup jauh untuk mencari angkot.
Langkahku yang tadinya cepat tiba-tiba terhenti ketika mendapati sosok yang selalu diam-diam ku perhatikan sedang tersenyum manis ke arahku seraya menggoyang-goyangkan kunci motor dihadapannya seolah memamerkan kunci tersebut kepadaku. Aku balas tersenyum, mengerti maksudnya melakukan hal tersebut.
“kok masih di sekolah, Vin?” tanyaku seraya menghampirinya, menghapus jarak antara kami berdua.
“nungguin seseorang yang kata Rio tadi kedapetan ketiduran di kelas sampai dihukum sama bu Mida” ucapnya dengan nada mengejek kemudian berbalik memunggungiku dan berjalan menuju parkiran tanpa menungguku yang tinggal beberapa langkah lagi sampai disampingnya.
Aku tertawa mendengar ucapannya. Bukan karena lucu, hanya saja aku merasa senang karena ini merupakan percakapan pertama kami setelah selama lebih dua bulan kami saling menghindar.
“tungguin dong, Vin” rengekku, berharap dia menungguku agar aku bisa berjalan berdampingan dengannya. Namun dia tetap saja melangkah dengan cueknya tanpa mengacuhkan rengekanku. “Alvin jahat ih” rengekku lagi dengan manja.
Langkahnya terhenti, namun hanya sesaat karena dengan cepat dilanjutkannya lagi langkahnya tersebut tanpa menoleh sedikitpun.
“aku takut, Shil. Aku takut tembok yang sudah susah payah kita bangun bakalan dengan mudah ku runtuhkan kalau kita terlalu dekat” ucapnya lirih tanpa menghentikan langkahnya sedikitpun.
Aku tersenyum getir, mengerti maksud ucapannya. Kini aku kembali melangkahkan kakiku dalam diam. Otot kaku dileherku kembali terasa, padahal beberapa saat yang lalu aku sempat melupakannya.
“naik, Shil” ucapnya seraya menyodorkan sebuah helm ke arahku tanpa menoleh sama sekali. Tampak sekali jika dia mencoba menghindariku.
“aku naik angkot aja, Vin. Kalo aku duduk di boncengan motormu, jarak kita pasti sangat dekat” ucapku menolak.
“dan aku bakalan ngabisin sepanjang malamku dengan gelisah karena nggak tahu kamu sudah sampai di rumah atau nggak” ucapnya tajam yang membuat aku dengan cepat meraih helm yang tadi disodorkannya ke arahku. “lagipula kalau kamu duduk diboncenganku, aku nggak bisa ngeliat kamu” lanjutnya lirih setelah aku duduk di boncengan motornya.
Aku pikir dia sudah tak peduli lagi padaku, tapi ternyata pikiranku salah. Dia masih sama seperti dulu. Sifatnya yang selalu khawatir berlebihan padaku juga sepertinya tak berubah sama sekali meski tak pernah ditunjukkannya.
Apalah arti cinta
Bila pada akhirnya takkan menyatu
“Shil, kamu mau nggak jadi pacarku?” ucap Alvin sambil menggaruk tengkuknya yang sepertinya tak gatal sama sekali. Aku tersenyum melihatnya salah tingkah seperti sekarang. Kapan lagi coba melihat seorang Alvin yang tingkat kepercayaan tingginya sudah overdosis salah tingkah?
“nggak” ucapku kemudian tertawa saat melihat ekspresi kaget Alvin yang lucu. “nggak nolak” ucapku lagi yang membuat Alvin langsung memelukku erat.
Bahagia? Sudah jelas. Siapa sih yang nggak bahagia kalau bisa bersama dengan pujaan hati.
Namun didalam kebahagiaan kami terselip kegelisahan dan ketakutan didalam hatiku. Entah Alvin juga merasakannya atau tidak, tapi yang pastinya ketakutan serta kegelisahan itu semakin hari semakin besar.
Sesulit inikah jalan takdirku
Yang tak inginkan kita bahagia
“Vin, katanya hari minggu ntar tim basket SMA kita ada pertandingan persahabatan sama SMA sebelah. Kita nonton yuk? Rio kan ikutan main” tanyaku saat aku dan Alvin duduk dipinggir koridor kelas yang langsung berhadapan dengan lapangan basket sambil memperhatikan pemain basket unggulan sekolah kami latihan. Sebenarnya aku tak terlalu menyukai basket, tapi karena Rio – sepupu kesayanganku – jadi pemain inti tim basket, aku jadi sering menyempatkan diri untuk menonton pertandingan basket.
“aku ibadah, Shil. Ada kegiatan keagamaan juga di gereja. Kamu nonton sama Ify aja ya. Dia pasti nonton kan buat ngasi semangat pacar tercintanya ” ucapnya, ada nada tak enak dari ucapannya. “kalau sempat, aku nyusul” lanjutnya lagi berucap saat tak mendapati balasan sama sekali dariku.
Inilah ketakutanku. Bukan, bukan karena aku tak bisa jalan sama dia pada hari minggu tapi lebih karena dia ibadah hari minggu. Ketakutan terbesarku karena jadwal ibadah kami berbeda, karena tempat ibadah kami berbeda dan karena cara kami beribadah serta menyebut Tuhan kami berbeda. Hari minggu selalu memberi tekanan tersendiri untukku karena selalu mengingatkanku akan perbedaan kami yang terlalu mencolok.
@@@@@@@
Aku berjalan keluar gedung olahraga tempat pertandingan persahabatan basket diadakan sambil bercanda dengan Rio dan Ify. Pertandingan persahabatan tersebut dimenangkan oleh sekolahku dengan perbedaan skor yang cukup tipis.
“eh, Shil, Alvin datang tuh” ucap Ify seraya menunjuk ke satu arah. Aku mengikuti arah telunjuknya dan mendapati Alvin sedang berjalan menghampiri kami. Aku tersenyum. Dia menepati janjinya untuk datang setelah kegiatannya di gereja selesai, meskipun kedatangannya sangat telat.
Aku melambaikan tanganku ke arahnya dan dibalas dengan lambaian tangan serta senyum hangat darinya. Senyum yang selalu aku suka dan tak pernah sedikitpun aku bosan melihatnya.
“pertandingannya sudah selesai” ucapku saat Alvin sudah berdiri dihadapanku dan mengacak pelan rambutku, kegiatan rutinnya tiap bertemu denganku.
“nggak papa. Gimana hasil pertandingannya, Yo?” ucapnya kemudian bertanya pada Rio yang berdiri tepat disampingku. Rio kemudian menceritakan pertandingan barusan pada Alvin, membuat aku dan Ify hanya menggelengkan kepala secara serentak karena keduanya langsung terlibat pembicaraan seru dan melupakan aku dan Ify yang masih berdiri didekat mereka.
“Fy, aku curiga deh kalo kita ini cuma kedok buat nutupin kemahoan mereka berdua” bisikku pelan yang disambut dengan cekikikan oleh Ify. Tak lama, dua buah jari sudah bertengger manis di telingaku kemudian secara brutal ditarik tanpa ampun.
“barusan ngomong apaan?” tanya Alvin, sang tersangka penindasan terhadap telingaku yang aku yakini sudah memerah.
“nggak ngomong apa-apa kok, Vin” kilahku seraya tersenyum manis yang langsung di hadiahi tatapan curiga oleh Alvin.
“aku sama Rio denger tau kamu bisikin apa ke Ify” ucapnya kemudian mencubit kedua pipiku yang membuatku tertawa.
Aku selalu suka dengan semua perlakuan Alvin terhadapku. Dia memang tak pernah bersikap romantis terhadapku dan lebih cenderung cuek atau kalau tidak ya seperti sekarang ini, mencubit atau menjewer telingaku tanpa ampun. Tapi aku suka dengan caranya tersebut. Setidaknya dia tak berusaha menjadi romantis dan membuat dia berubah menjadi orang lain. Demi apapun juga, aku nggak bisa ngebayangin kalau Alvin ngikutin Rio yang sangat sering melontarkan kalimat-kalimat gombalnya ke Ify.
Aku membalas cubitan Alvin tadi dengan menggelitikinya karena dia termasuk orang yang mudah geli dan aku selalu memanfaatkan kelemahannya itu untuk membalasnya tiap kali dia mengerjaiku ataupun menyubitku.
Alvin mengelak, namun tetap tak bisa menghindari serangan tanganku yang semakin brutal menggelitikinya. Aku tertawa, menikmati aksi pembalasanku terhadap Alvin. Alvin sendiri yang sudah kewalahan menghindari gelitikanku akhirnya menarikku ke pelukannya dan membuatku tersentak kaget. Tidak, aku tak kaget karena tiba-tiba dipeluk. Hanya saja aku kaget melihat kalung yang tergantung indah di lehernya dan liontin dari kalung tersebut kini berada tepat didepan mataku. Liontin dengan bentuk salib.
Lagi-lagi ketakutan itu bertambah. Kegelisahan itu meningkat. Dan perbedaan kami semakin mencolok. Tasbihku takkan pernah bersanding dengan salibnya. Aku tahu itu.
“sudah nggak usah diliatin” ucapnya kemudian memasukkan kalungnya kedalam kemeja biru yang sedang dipakainya.
Aku tersenyum getir kemudian mendongak menatap Alvin yang tlebih tinggi dariku. Dan saat itulah aku melihat pancaran ketakutan serta kegelisahan yang sama dengan yang ku rasakan dimatanya. 
Bila aku tak berujung denganmu
Biarkan kisah ini ku kenang selamanya
“Shilla, kamu tahu kan mama sayang sama kamu?” tanya mama saat aku dan mama sedang menonton acara berita di sebuah stasiun swasta. Aku mengangguk, masih bingung dengan maksud pernyataan mama. “kamu sayang nggak sama mama?” lanjut mama lagi bertanya. Aku mengerutkan kening, menerka-nerka kemana arah pembicaraan mama.
“ya sayang lah, ma” jawabku jelas.
“kalau kamu sayang mama, kamu putusin Alvin ya sayang” ucap mama lembut namun terdengar seperti ledakan sebuah bom di telingaku.
“kenapa, ma?” tanyaku getir. “mama nggak suka ya sama Alvin?”
Mama memelukku, menyalurkan kasih sayangnya terhadapku. Mungkin juga mama sedang mengalirkan energi kepadaku karena kini aku terlihat lemah dengan air mata yang secara perlahan turun membasahi pipiku.
“mama suka sama Alvin. Sangat suka malah. Dia baik dan sopan. Dia selalu jagain kamu dengan baik. Setidaknya kalau kamu sama dia mama tenang. Mama selalu yakin kalau kamu pasti akan aman kalau sama dia. Tapi kalian beda, Fy. Perbedaan kalian terlalu mencolok untuk disamarkan. Lebih baik kalian mengakhirinya sekarang daripada nanti saat rasa sayang kalian semakin besar. Saat kalian menjadi saling ketergantungan” jelas mama tanpa melepaskan pelukannya dariku. Ada isakan kecil yang tertahan dari bibir mama. Aku tahu, mama juga berat dengan keputusan yang diambilnya sekarang mengingat mama cukup dekat dengan Alvin dan juga sangat menyukai Alvin yang selalu menjagaku saat penjagaan mama tak mampu menyertaiku.

Tuhan tolong buang rasa cintaku
Jika tak kau izinkan aku bersamanya
“Vin, kita putus ya” ucapku saat Alvin sedang datang berkunjung ke rumahku setelah beribadah. Aku menatapnya yang hari itu tampak gagah seperti biasanya dalam balutan kemeja, tampilan khasnya tiap pergi ke gereja. Kalung salib masih tergantung indah di lehernya.
“kenapa, Shil?” tanyanya. Ada kegetiran dari nada suaranya.
“kita beda, Vin. Aku yakin kamu juga sadar hal itu” ucapku menjelaskan kemudian berhenti sejenak, menunggu reaksi darinya. Namun saat tak ada reaksi sama sekali darinya selain tatapan yang tampak jelas sedang terluka, aku melanjutkan penjelasanku dengan linangan air mata. “tasbihku dan salibmu berbeda. Kitab yang kita baca berbeda. Cara kita beribadah terlalu berbeda. Kita nggak bisa berdampingan saat aku menengadahkan tanganku dan kamu menautkan jari-jemarimu. Perbedaan kita terlalu mencolok saat kita menyebut Tuhan dalam panggilan yang berbeda. Kita beda, Vin” lanjutku menjelaskan sengan terisak sambil sesekali menyeka air mata yang sepertinya tak mau berhenti tuk mengalir. Alvin menghapus air mataku kemudian menarikku dalam pelukannya, membuat air mataku yang tadinya mulai bisa tertahan kembali keluar.
“jangan nangis” ucapnya lembut, menyuruhku berhenti menangis padahal saat ini air matanya juga sedang mengalir membasahi pipi putihnya. “maaf karena sudah membawamu ke situasi ini. Maaf karena sesaat aku lupa akan perbedaan itu”

Inilah saatnya aku harus melepaskan dirimu
“makasih ya, Vin. Mau mampir dulu nggak?” ucapku saat turun dari boncengan motornya kemudian menyerahkan kembali helm yang tadi ku pakai.
“nggak usah, udah mau maghrib. Salam aja buat mama” ucapnya kemudian mengacak pelan rambutku. Alvin memang memanggil mama dengan panggilan yang sama seperti aku memanggil mama.
“hati-hati ya, Vin” ucapku pelan dan tanpa terasa air mataku mengalir di pipiku. Demi apapun juga, aku sangat merindukannya. Merindukannya yang hanya berbeda kelas denganku namun tak bisa ku gapai. Merindukannya yang selalu dekat namun terhalangi oleh tembok tak kasat mata yang telah kami bangun dengan susah payah.
“jangan nangis” ucapnya lembut, sama persis seperti hari dimana aku meminta putus. Tangan kanannya terulur menghapus air mataku lembut. “udah gede juga, masih aja cengeng” ucapnya kemudian mencubit kedua pipiku.
“biarin”
“udah ya, aku pulang” ucapnya kemudian betul-betul pergi dari hadapanku.
Aku memperhatikan punggungnya yang semakin menjauh kemudian menghilang di pertigaan jalan kompleks rumahku. Aku tersenyum getir, sadar kebersamaanku barusan dengannya kembali berakhir karena besok pasti tembok tak kasat mata yang menghalangi kami berdua akan semakin menjulang tinggi.
Dulu, aku melepaskannya di jalan ini. Dan kini, di jalan yang sama aku kembali melepaskannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar