Tidak ada sebuah definisi atau pengertian
tunggal mengenai pembelajaran kontekstual. Setiap pakar dan komunitas pakar
memberikan definisi beragam. Namun mereka bersepakat bahwa hakekat pembelajaran
kontekstual adalah sebuah sistem yang mendorong pembelajar untuk membangun
keterkaitan, independensi, relasi-relasi penuh makna antara apa yang dipelajari
dengan realitas, lingkungan personal, sosial dan kultural yang terjadi sekarang
ini.
Beberapa
definisi pembelajaran kontekstual yang pernah ditulis dalam beberapa sumber,
yang dikemukakan oleh Nurhadi,dkk dalam bukunya “Kontekstual dan penerapannya
dalam KBK”.
1. Sistem CTL merupakan suatu proses
pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran
yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan
mereka sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya, dan
budayanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem CTL akan menuntun siswa
melalui kedelapan komponen utama CTL: melakukan hubungan yang bermakna,
mengerjakan pekerjaan yang berarti, mengatur cara belajar sendiri, bekerjasama,
berpikir kritis dan kreatif, memelihara/merawat pribadi siswa, mencapai standar
yang tinggi, dan menggunakan assessment autentik.
2. Pengajaran kontekstual adalah pengajaran
yang memungkinkan siswa memperkuat, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan
keterampilan akademisnya dalam berbagai latar sekolah dan diluar sekolah untuk
memecahkan seluruh persoalan yang ada dalam dunia nyata. Pembelajaran
kontekstual terjadi ketika siswa menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan
dengan mengacu pada masalah-masalah real yang berasosiasi dengan peranan dan
tanggung jawab mereka sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, siswa, dan
selaku pekerja. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual menekankan berfikir
tingkat tinggi, transfer pengetahuan melalui disiplin ilmu, dan mengumpulkan,
menganalisis dan mensintesiskan informasi dan data dari berbagai sumber dan
sudut pandang.
3. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual
adalah suatu konsepsi belajar mengajar yang membantu guru menghubungkan isi pelajaran
dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan-hubungan
antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan siswa sebagai anggota
keluarga, anggota masyarakat, dan pekerja serta meminta ketekunan belajar.
Pengajaran dan pembelajaran kontekstual dilakukan dengan berbasis masalah,
menggunakan cara belajar yang diatur sendiri, berlaku dalam berbagai macam
konteks, memperkuat pengajaran dalam berbagai konteks kehidupan siswa,
menggunakan penilaian autentik, dan menggunakan pula kelompok belajar yang
bebas.
Definisi
yang mendasar tentang pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and
Learning) adalah konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata kedalam
kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari; sementara siswa
memperoleh pengetahuan dan keterampilannya dari konteks yang terbatas, sedikit
demi sedikit, dan dari proses mengkontruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan
masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.
Pola
pikir sentralistik dan uniformistik mewarnai pengemasan dunia pendidikan kita.
Ada kecenderungan dalam dunia pendidikan dewasa ini bahwa anak akan belajar
lebih baik jika lingkungan diciptakan secara alamiah. Belajar akan lebih
bermakna jika anak “mengalami” sendiri apa yang dialaminya, bukan
“mengetahuinya”. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi
terbukti berhasil dari “kompetisi” mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak
memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka
panjang. Pendekatan kontekstual adalah suatu pendekatan pengajaran yang dari
karakteristiknya memenuhi harapan itu.
Beberapa
prinsip yang harus dikembangkan oleh guru dalam pembelajaran kontekstual
adalah:
1. Merencana pembelajaran sesuai dengan
kewajaran perkembangan mental (developmentaly appropriate) peserta didik.
2. Membentuk kelompok belajar yang
saling tergantung (independent learning groups).
3. Menyediakan lingkungan yang mendukung
pembelajaran mandiri.
4. Mempertimbangkan keragaman peserta
didik.
5. Memperhatikan multi-intelegensi.
6. Menggunakan teknik-teknik bertanya
(questioning) untuk meningkatkan pembelajaran peserta didik.
7. Menerapkan penilaian autentik
(authentic assessment) untuk mengevaluasi penerapan pengetahuan dan berpikir
kompleks seorang siswa.
Elaine B.Johnson (2002) menyimpulkan bahwa dalam
pembelajaran kontektual, minimal ada tiga prinsip utama, yaitu saling
ketergantungan, diferensiasi, dan pengorganisasian diri.
1.
Prinsip saling
ketergantungan
Menurut hasil kajian para ilmuwan modern segala yang ada di alam
semesta ini adalah saling berhubungan dan tergantung. Segala yang ada, baik
manusia maupun bukan manusia, mahluk hidup ataupun benda mati satu sama lain
saling berhubungan dan bergantung membentuk pola dan jaring sistem hubungan
yang teratur.
Prinsip saling ketergantungan alam semesta, juga berlaku dalam
pendidikan dan pembelajaran. Sekolah merupakan suatu sistem kehidupan, yang
terkait dengan kehidupan di rumah, di masyarakat dan di tempat kerja. Dalam
kehidupan di sekolah siswa saling berhubungan dan tergantung dengan guru,
kepala sekolah, tata usaha, orang tua, serta berbagai narasumber yang ada
disekitarnya. Dalam proses pembelajaran siswa juga berhubungan dengan bahan
ajar, buku sumber, media, sarana dan prasarana pendidikan, iklim sekolah,
lingkungan, dll.
Saling berhubungan ini, bukan hanya terbatas pada memberikan
dukungan, kemudahan, tetapi juga memberi makna, sebab makna hanya ada karena
adanya hubungan yang berarti. Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran
yang menekankan hubungan antara bahan ajaran dengan bahan lainnya, antara bahan
yang bersifat konsep dengan penerapan dalam kehidupan, antara teori dengan
praktek, antara suatu kegiatan lainnya, antara kegiatan seorang siswa dengan
kegiatan siswa lainnya.
2.
Prinsip differensiasi
Differensiasi menunjukkan kepada sifat alam yang secara terus
menerus menimbulkan perbedaan, keragaman, keunikan. Alam tidak pernah mengulang
dirinya tetapi keberadaannya yang luar biasa dari alam semesta. Kalau dari pandangan
agama kreativitas luar biasa tersebut bukan alam semestanya tetapi
pencipta-Nya. Differensiasi bukan hanya menunjukkan perubahan dan kemajuan tanpa
batas, tetapi juga kesatuan-kesatuan yang berbeda tersebut berhubungan, saling
tergantung dalam keterpaduan yang bersifat simbiosis atau saling
menggantungkan.
Apabila para pendidik memiliki keyakinan yang sama dengan para
ilmuwan modern bahwa prinsip differensiasi yang dinamis ini bukan hanya berlaku
dan berpengaruh pada alam semsta, tetapi juga pada sistem pendidikan. Para
pendidik juga dituntut untuk mendidik, mengajar, melatih, membimbing sejalan
dengan prinsip diferensiasi dan harmoni alam semesta ini. Proses pendidikan dan
pembelajaran hendaknya dilaksanakan dengan menekankan kreatifitas, keunikan, variasi
dan kolaborasi. Konsep-konsep tersebut bisa dilaksanakan dalam pembelajaran
kontekstual. Pembelajaran kontekstual berpusat pada siswa, menekankan aktivitas
dan kreativitas siswa. Siswa berkolaborasi dengan teman-temannya ntuk melakukan
pengamatan, menghimpun dan mencatat fakta dan informasi, menemukan
prinsip-prinsip dan pemecahan masalah.
3.
Prinsip pengorganisasian
diri
Setiap individu atau kesatuan dalam alam semesta mempunyai potensi
yang melekat, yaitu kesadaran sebagai kesatuan utuh yang berbeda dari yang
lain. Tiap hal memiliki organisasi diri, keteraturan diri, kesadaran diri,
pemeliharaan diri sendiri, suatu energi atau kekuatan hidup, yang memungkinkan
mempertahankan dirinya secara khas, berbeda dengan yang lainnya.
Prinsip organisasi diri, menuntut para pendidik dan pengajar di
sekolah agar mendorong setiap siswanya untuk memahami dan merealisasikan semua
potensi yang dimilikinya secara optimal mungkin. Pembelajaran kontekstual
diarahkan untuk membantu para siswa mencapai keunggulan akademik, penguasaan
keterampilan standar, pengembangan sikap dan moral sesuai dengan harapan
masyarakat.
CTL
(Contextual Teaching and Learning) dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja,
bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan CTL
dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkah-langkah yang harus
ditempuh dalam CTL adalah sebagai berikut.
1. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan
belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri dan mengkonstruksi sendiri
pengetahuan dan keterampilan barunya.
2. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan
inkuiri untuk semua topik.
3. Kembangkan sifat ingin tahu siswa
dengan bertanya.
4. Ciptakan masyarakat belajar.
5. Hadirkan model sebagai contoh
pembelajaran.
6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
7. Lakukan penilaian yang sebenarnya
dengan berbagai cara.
Pembelajaran
kontekstual menempatkan siswa didalam konteks berwarna yang menghubungkan
pengetahuan awal siswa dengan materi yang sedang dipelajari dan sekaligus
memperhatikan faktor kebutuhan individual siswa dan peranan guru. Sehubungan
dengan itu maka pendekatan pengajaran kontekstual harus menekankan pada
indikator-indikator berikut:
1.
Belajar berbasis masalah
(problem-based learning)
Suatu
pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu
konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan
pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi
dengan materi pelajaran. Perlunya pendekatan pembelajaran berbasis masalah
didasarkan pada kenyataan-kenyataan sebagai berikut:
a.
Pada dasarnya, berpikir
terjadi dalam konteks memecahkan masalah, yaitu adanya kesenjangan antara apa
yang diharapkan dengan apa yang ada.
b.
Seseorang menjadi
tertarik atau berminat mengerjakan sesuatu apabila berada dalam ruang lingkup
atau berkaitan dengan masalah yang dihadapinya. Demikian pula dengan belajar.
c.
Pada
saat mempelajari bahan pelajaran, siswa ingin segera mengetahui apa sebenarnya
manfaat mempelajarinya, dan masalah apa sajakah yang dapat dipecahkan dengan
pengetahuan atau bahan itu.
d.
Suatu
kompetensi paling efektif dicapai oleh pelajar melalui serangkaian pengalaman
pemecahan masalah realistik yang di dalamnya si pelajar secara langsung
menerapkan unsur-unsur kompetensi tersebut.
2.
Pengajaran autentik
(authenthic intruction)
Pendekatan
pengajaran yang memperkenankan siswa untuk mempelajari konteks bermakna. Ia
mengembangkan keterampilan berfikir dan pemecahan masalah yang penting dalam
kehidupan nyata.
3.
Belajar berbasis inquiry
(inquiry-based learning)
Membutuhkan
strategi pengajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan
untuk pembelajaran bermakna.
Tujuan
utama pembelajaran berbasis inkuiri menurut National Research Council (2000)
adalah:
a.
Mengembangkan keinginan
dan motivasi siswa untuk mempelajari prinsip dan konsep sains.
b.
Mengembangkan
keterampilan ilmiah siswa sehingga mampu bekerja seperti layaknya seorang
ilmuwan.
c.
Membiasakan siswa
bekerja keras untuk memperoleh pengetahuan.
Melalui pembelajaran yang berbasis inkuiri, siswa belajar sains
sekaligus juga belajar metode sains. Proses inkuiri memberi kesempatan kepada
siswa untuk memiliki pengalaman belajar yang nyata dan aktif, siswa dilatih
bagaimana memecahkan masalah sekaligus membuat keputusan. Pembelajaran berbasis
inkuri memungkinkan siswa belajar sistem, karena pembelajaran inkuiri
memungkinkan terjadi integrasi berbagai disiplin ilmu. Ketika siswa melakukan
eksplorasi, akan muncul pertanyaan-pertanyaan yang melibat matematika, bahasa,
ilmu sosial, seni, dan juga teknik. Peran guru di dalam pembelajaran inkuiri
lebih sebagai pemberi bimbingan, arahan jika diperlukan oleh siswa. Dalam
proses inkuiri siswa dituntut bertanggungjawab penuh terhadap proses
belajarnya, sehingga guru harus menyesuaikan diri dengan kegiatan yang
dilakukan oleh siswa, sehingga tidak menganggu proses belajar siswa.
Langkah pembelajaran inkuri, merupakan suatu siklus yang dimulai
dari:
a.
Observasi atau pengamatan
terhadap berbagai fenomena alam
b.
Mengajukan pertanyaan tentang
fenomena yang dihadapi
c.
Mengajukan dugaan atau
kemungkinan jawaban
d.
Mengumpulkan data berkait
dengan pertanyaan yang diajukan
e.
Merumuskan kesimpulan kesimpulan
berdasarkan data
4.
Belajar berbasis
proyek/tugas (project-based learning)
Metoda
belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan
mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktifitas
secara nyata. PBL dirancang untuk digunakan pada permasalahan komplek yang
diperlukan pelajar dalam melakukan insvestigasi dan memahaminya. Ada tiga
kategori umum penerapan proyek untuk pelajar, yakni mengembangkan keterampilan,
meneliti permasalahan dan menciptakan solusi. Kreatifitas dari suatu proyek
membantu perkembangan pertumbuhan individu.
5.
Belajar berbasis kerja
(work-based learning)
Memerlukan
suatu pendekatan pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat
kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan bagaimana materi
tersebut dipergunakan kembali di tempat kerja.
6.
Belajar berbasis jasa-layanan
(service learning)
Suatu
pendekatan pembelajaran yang mengkombinasikan jasa layanan masyarakat dengan
suatu struktur berbasis sekolah, guna merefleksikan jasa-layanan tersebut. Jadi
menekankan hubungan antara pengalaman jasa-layanan dan pembelajaran akademis.
Dengan kata lain, pendekatan ini menyajikan suatu penerapan praktis dari
pengetahuan baru yang diperlukan dan berbagi keterampilan untuk memenuhi
kebutuhan dalam masyarkat melalui proyek/tugas terstruktur dan kegiatan
lainnya.
Pembelajaran berbasis jasa layanan mengandung ciri bahwa:
Pembelajaran berbasis jasa layanan mengandung ciri bahwa:
a.
Melakukan hubungan yang
bermakna, hal ini diwujudkan dengan kerjasama kelompok yang dilakukan dalam
menyelesaikan tugas terstruktur.
b.
Bekerja sama guna
penerapan praktis dari pengetahuan yang baru diketahui siswa.
c.
Melakukan
kegiatan-kegiatan yang berarti melalui kegiatan yang bermanfaat untuk memenuhi
kebutuhan dalam masyarkat (jasa layanan yang berkaitan dengan tugas
terstruktur).
7.
Belajar kooperatif
(cooperative learning)
Memerlukan
pendekatan pengajaran melalui pendekatan kelompok kecil siswa untuk bekerja
sama dalam menggapai tujuan belajar. Dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap
anggota saling kerjasama dan membantu untuk memahami suatu bahan pembelajaran.
Tujuan
penting dari pembelajaran kooperatif adalah untuk rnengajarkan kepada siswa
keterampilan kerjasama dan kolaborasi. Keterampilan ini amat penting untuk
dimiliki didalam masyarakat di mana banyak kerja orang dewasa sebagian besar
dilakukan dalam organisasi yang saling bergantung sama lain dan di mana
masyarakat secara budaya semakin beragam. Sementara itu, banyak anak muda dan
orang dewasa masih kurang dalam keterampilan sosial. Situasi ini dibuktikan
dengan begitu sering pertikaian kecil antara individu dapat mengakibatkan
tindak kekerasan atau betapa sering orang menyatakan ketidakpuasan pada saat
diminta untuk berada dalam situasi kooperatif.
Dalam
pembelajaran kooperatif tidak hanya mempelajari materi saja. Namun siswa juga
harus mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut keterampilan
kooperatif. Keterampilan kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan,
kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat di bangun dengan mengembangkan
komunikasi antar anggota kelompok sedangkan peranan tugas dilakukan dengan
membagi tugas antar anggota kelompok selama kegiatan.
Pembelajaran kontekstual
(contextual teaching and learning) atau yang biasa disebut dengan CTL memiliki
7 asaz. Sering kali asaz ini di sebut juga komponen-komponen CTL. Adapun tujuh
asaz tersebut adalah:
1.
Konstruktivisme
Yaitu proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur
kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Menurut Piaget pendekatan
konstruktivisme mengandung empat kegiatan inti, yaitu :
a. Mengandung pengalaman nyata (Experience)
b.
Adanya interaksi sosial (Social
interaction)
c.
Terbentuknya kepekaan terhadap
lingkungan (Sense making)
d. Lebih memperhatikan pengetahuan awal (Prior Knowledge).
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan
kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi
sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah
yang siap diambil atau diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu
dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Berdasarkan pada pernyataan
tersebut, pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan
menerima pengetahuan.
Sejalan dengan pemikiran Piaget mengenai kontruksi pengetahuan dalam
otak. Manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti kotak-kotak
yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda. Setiap kotak
itu akan diisi oleh pengalaman yang dimaknai berbeda-beda oleh setiap individu.
Setiap pengalaman baru akan dihubungkan dengan kotak yang sudah berisi
pengalaman lama sehingga dapat dikembangkan. Struktur pengetahuan dalam otak
manusia dikembangkan melalui dua cara yaitu asimilasi dan akomodasi.
2.
Inkuiri
Merupakan proses pembelajaran yang didasarkan pada pencarian dan
penemuan melalui proses berfikir secara sistematis. Inkuiri dapat diartikan
juga sebagai proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui
proses berpikir secara sistematis. Secara umum proses inkuiri dapat dilakukan
melalui beberapa langkah, yaitu :
a.
Merumuskan masalah
b.
Mengajukan hipotesis
c.
Mengumpulkan data
d.
Menguji hipotesis berdasarkan
data yang ditemukan
e.
Membuat kesimpulan.
Melalui proses berpikir yang sistematis, diharapkan
siswa memiliki sikap ilmiah, rasional, dan logis untuk pembentukan
kreativitas siswa.
3.
Bertanya (question)
Dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu,
sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir. Bertanya
merupakan strategi utama dalam pembelajaran
kontekstual. Kegiatan bertanya digunakan oleh guru untuk mendorong, membimbing
dan menilai kemampuan berpikir siswa sedangkan bagi siswa kegiatan bertanya
merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiry.
Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna
untuk :
a.
Menggali informasi, baik
administratif maupun akademis
b.
Mengecek pengetahuan awal siswa
dan pemahaman siswa
c.
Membangkitkan respon kepada
siswa
d.
Mengetahui sejauh mana
keingintahuan siswa
e.
Memfokuskan perhatian siswa
pada sesuatu yang dikehendaki guru
f.
Membangkitkan lebih banyak lagi
pertanyaan dari siswa
g.
Menyegarkan kembali pengetahuan
siswa
4.
Masyarakat Belajar (Learning
Community)
Konsep
masyarakat belajar dalam CTL menyarankan
agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain.
Pengertian masyarakat belajar pada umumnya mencakup:
a.
Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman
b.
Siswa belajar
menggunakan keterampilan berpikir kritis
c.
Siklus yang terdiri dari mengamati, bertanya, menganalisis
dan merumuskan teori, baik perorangan maupun kelompok
d.
Diawali dengan pengamatan, lalu berkembang untuk memahami
konsep/fenomena
e.
Mengembangkan dan menggunakan keterampilan berpikir kritis
5.
Pemodelan (Modeling)
Merupakan proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai
contoh yang dapat dittiru oleh setiap siswa. Dalam arti guru memberi
model tentang “bagaimana cara belajar”. Dalam pembelajaran kontekstual, guru
bukanlah satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa.
Menurut Bandura dan Walters, tingkah
laku siswa baru dikuasai atau dipelajari mula-mula dengan mengamati dan meniru
suatu model. Model yang dapat diamati atau ditiru siswa digolongkan menjadi :
a. Kehidupan yang nyata (real life), misalnya orang tua, guru,
atau orang lain.
b. Simbolik (symbolic), model yang dipresentasikan secara lisan, tertulis
atau dalam bentuk gambar.
c. Representasi (representation), model yang
dipresentasikan dengan menggunakan alat-alat audiovisual, misalnya televisi dan
radio.
6. Refleksi
Merupakan proses pengendapan, pengalaman yang telah dipelajari yang
dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa
pembelajaran yang telah dilaluinya.
Guru harus dapat membantu peserta didik membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan
demikian, peserta didik akan memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya
mengenai apa yang baru dipelajarinya.
Kuncinya adalah bagaimana pengetahuan dan keterampilan itu mengendap
di jiwa peserta didik sehingga tercatat dan merasakan terhadap pengetahuan dan
keterampilan baru tersebut.
Pada akhir proses pembelajaran sebaiknya guru menyisakan waktu agar
peserta didik melakukan refleksi, yang diwujudkan dalam bentuk:
a.
Pernyataan langsung peserta
didik tentang diperoleh hari itu
b.
Jurnal belajar di buku pribadi
peserta didik
c.
Kesan dan saran peserta didik
mengenai pembelajaran hari itu
7. Penilaian
nyata (Authentic Assessment)
Penilaian
autentik merupakan proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan
gambaran perkembangan belajar siswa agar guru dapat memastikan apakah siswa
telah mengalami proses belajar yang benar. Penilaian autentik menekankan pada
proses pembelajaran sehingga data yang dikumpulkan harus diperoleh dari
kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran.
Karakteristik
authentic assessment menurut Depdiknas (2003) di antaranya:
dilaksanakan selama dan sesudah proses belajar berlangsung, bisa digunakan
untuk formatif maupun sumatif, yang diukur keterampilan dan sikap dalam
belajar bukan mengingat fakta, berkesinambungan, terintegrasi, dan dapat
digunakan sebagai feedback. Authentic
assessment biasanya berupa kegiatan yang dilaporkan, PR, kuis, karya
siswa, prestasi atau penampilan siswa, demonstrasi, laporan, jurnal, hasil tes
tulis dan karya tulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar