Kamis, 03 Mei 2018

Aku Memanggilnya Bu Sum

Hari ini aku rindu. Rindu yang sama, yang selalu ku rasakan sejak lulus SD. Rindu berkepanjangan yang sialnya sejak beberapa tahun terakhir tak pernah bisa lagi terobati dengan sebuah pertemuan singkat.
Dimulai dari kemarin saat tulisan serta gambar tentang hari pendidikan nasional memenuhi beranda serta story sosial mediaku. Bukan hanya saat hardiknas tahun ini sebenarnya. Setiap tahun tiap hardiknas dan hari guru rindu ini sangat terasa. Rindu akan sosok yang membuatku jatuh cinta terhadap matematika dan deretan angka.
Sosok yang membuatku senang belajar. Sosok yang meski aku jatuh berkali-kali tak pernah lelah untuk mengulurkan tangannya lagi dan lagi. Sosok yang sangat kuat yang terus berjuang melawan tumor ganas yang dengan jahatnya terus memaksa beliau untuk menyerah. Sosok yang disayangi Allah hingga akhirnya Allah mengirim malaikat untuk menjemputnya pulang.
Beliau adalah wali kelasku saat kelas 3 dan kelas 6. Nama beliau Ibu Sumiati. Aku juga murid-muridnya yang lain memanggil beliau bu Sum. Aku ingat saat kelas 3 beliau mewajibkan kami menulis dengan huruf tegak bersambung. Tak peduli seburuk apapun tulisan murid-muridnya saat itu, beliau tetap memuji kami. Saat itu aku tak pernah mengerti untuk apa kami menulis menggunakan huruf tegak bersambung. Aku pikir mungkin saat itu bu Sum bertujuan agar murid-muridnya tak menulis dengan gaya yang aneh-aneh. Contohnya saat menulis huruf a diganti menjadi @. Atau huruf g yang dibuat dari dua lingkaran. Aku pernah menulis huruf seperti itu saat tak menjadi anak wali beliau dan saat beliau masuk ke kelas kami untuk menjadi guru pengganti, beliau kaget melihat tulisan kami yang sudah bervariasi kemudian berkomentar "kenapa tulisan kalian jadi seperti ini".
Saat itu aku betul-betul berpikir itulah tujuan beliau. Tapi sekarang kalau dipikir-pikir, itu mungkin metode beliau untuk mengajarkan kami kesabaran, ketelitian, dan kedisiplinan. Kesabaran karena menulis menggunakan kalimat dengan huruf tegak bersambung butuh waktu lebih lama dibanding menggunakan huruf cetak saat belum terbiasa. Ketelitian agar tak ada huruf yang tertinggal saat menulis sehingga kertas tak perlu dihiasi coretan ataupun tip-x. Kedisiplinan sudah pasti karena beliau akan menegur keras kami saat kami coba-coba menulis menggunakan huruf cetak.
Dulu sebelum diajari oleh bu Sum, aku nggak pernah suka matematika. Apalagi sejak aku mendapat nilai 0 besar di materi pengurangan saat kelas 1. Sejak saat itu matematika jadi musuh besarku. Tapi saat kelas 3, saat diajar beliau anehnya aku jadi jatuh cinta sama matematika. Beliau selalu memberi trik-trik jitu yang memudahkan murid-muridnya menyelesaikan soal. Dan itu membuatku kecanduan mengerjakan soal-soal matematika.
Beliau betul-betul sukses membuatku cinta mati pada matematika.
Di tahun terakhir masa putih-merahku, aku kembali berjodoh dengan kelas beliau. Aku senang sekali saat itu, tapi aku takut harus kembali menulis menggunakan huruf tegak bersambung. Untungnya kewajiban saat kelas 3 tak perlu kami lakukan di kelas 6. Fyuuh.
Di kelas 6 beliau membuat peraturan baru, peningkatan dari menulis menggunakan huruf tegak bersambung. Di peraturan baru ini, tip-x tak boleh digunakan sama sekali dan kami tak diperbolehkan menyingkat kata saat menulis. Baik itu saat belajar maupun ujian. Awalnya terdengar sulit tapi lama kelamaan kami jadi terbiasa dan itu memudahkan saat ujian karna kami sudah terbiasa. Saat itu ujian kelulusanku tak cuma ada soal pilihan ganda, ada 5 soal esai juga yang harus dijawab.
Saat beliau melihat kemampuan matematika beberapa muridnya menghawatirkan, beliau merombak total jadwal pelajaran kami dan kami jadi belajar matematika setiap hari. Beliau mengajari kami dengan sabar dan menurutku metode belajar matematika setiap hari membuahkan hasil. Murid yang paling dikhawatirkan beliau saat itu bisa menyelesaikan soal pembagian yang sebelumnya dianggap susah dengan mudah.
Jujur, pernah menjadi murid beliau menjadi kebanggaan tersendiri untukku. Kadang saat mengajari adikku matematika, aku sering berkoar-koar betapa beruntungnya aku pernah diajari oleh beliau karena saat mengajari adikku trik-trik matematika yang ku dapat dari bu Sum, adikku yang merasa apa yg ku ajarkan lebih mudah akan berkomentar "aku kok nda belajar begitu di sekolah. Cara di buku juga nda begitu". Hal inilah yang membuatku sangat rindu pada beliau tiap hardiknas. Aku pasti bertanya sendiri, "seandainya ibu masih ada, bagaimana kontribusi ibu saat ini di dunia pendidikan? Metode apa yang ibu gunakan untuk mengikuti perkembangan kurikulum? Siapa kira-kira murid yang akan membuat ibu mengomel saat ini seandainya ibu masih ada? Siapa kira-kira murid yang akan mendengar ibu bercerita disela-sela pelajaran supaya murid ibu tak bosan?"
Saat perpisahan sekolah, aku menangis sangat lama. Aku paling nggak rela pisah sama beliau. Beliau betul-betul seperti orang tuaku sendiri dan aku ragu bisa bertemu dengan sosok yang seperti beliau.
Saat SMP, tiap berangkat ataupun pulang sekolah aku selalu menoleh ke arah rumah beliau berharap melihat beliau dan mungkin aku juga mau pamer lambang di seragamku pada beliau. Seperti mengatakan, "ibu, saya dikelas unggulan. Saya masih belajar dengan baik. Saya pun masih berteman baik dengan matematika". Berharap beliau bangga terhadapku.
Lalu saat SMA tiba-tiba salah seorang temanku mengatakan beliau sakit parah, ada tumor ganas menggerogoti tubuhnya. Aku lupa, apakah saat itu aku bertanya bagaimana keadaan beliau atau bagaimana bisa beliau yang selama ini tampak sehat tiba-tiba sakit parah? Atau saat itu aku hanya diam tak meresponnya. Aku betul-betul lupa. Aku terlalu shock saat itu.
Aku mulai rajin menanyakan keadaan beliau baik pada adikku yang saat itu menjadi anak walinya, atau pada temanku yang notabene anak kepala sekolah tempat bu Sum mengajar. Aku yang mengidolakannya semakin kagum saat mendengar mereka menceritakan beliau tetap mengajar meski sedang sakit parah. Beliau bahkan masih tetap semangat melanjutkan pendidikan S1-nya. Saat itu beliau masih D3.
Pernah suatu hari saat aku pulang sekolah, adikku mengatakan beliau memanggilku ke rumahnya. Aku sangat senang hari itu. Akhirnya aku punya alasan mengunjungi beliau. Selama ini aku tak berani mengunjunginya, takut mengganggu waktu istirahatnya karena beliau bukan hanya seorang guru tapi juga seorang istri dan ibu. Aku tak mau mengganggu waktu istirahatnya yang sedikit dengan kedatanganku.
Hari itu beliau meminta tolong sesuatu sambil bercerita tentang ketiga anaknya, menceritakan kekhawatirannya tentang si bungsu yang masih kecil, dan menceritakan penyakitnya. Aku bersyukur dari banyaknya muridnya, akulah yang muncul dipikirannya saat butuh bantuan.
Aku sempat dipanggil lagi oleh beliau ke rumahnya dan itu menjadi pertemuan terakhirku dengan beliau. Setelahnya rumah beliau selalu tertutup kemudian aku mendengar kabar beliau pindah daerah untuk fokus berobat. Aku sangat berharap beliau akan kembali dan tumor yang menggerogoti tubuhnya sudah tak ada lagi.
Namun itu tinggallah harapan. Beliau tak pernah kembali. Hanya kabar tentang beliau yang datang, kabar tentang kepergian beliau. Hari itu aku menangis. Sekarang pun aku masih kadang menangis jika sangat merindukannya.
Mungkin banyak yang bertanya, dari banyaknya guru yang pernah mengajariku kenapa bu Sum yang paling berkesan buatku. Aku pun bingung harus menjawab apa jika ditanya seperti itu. Yang ku tahu, beliau guru yang paling dekat denganku. Yang saat aku kalah lomba selalu punya cara membesarkan hatiku. Yang saat aku berhasil membuatnya bangga, tak pernah menyanjungku berlebihan hingga membuatku tinggi hati. Yang saat aku tak mampu mengontrol emosiku, selalu menegurku tanpa membuatku berkecil hati. Beliau yang tetap percaya padaku meski aku mengecewakannya. Dan dari semua guruku, hanya beliau yang membuatku berpikir ingin menjadi seorang guru.
Beliau betul-betul sukses menjadikanku fansnya.
Kadang saat sangat rindu, aku mengetik nama beliau di mesin pencari. Berharap menemukan wajah beliau di salah satu gambar yang ada di mesin pencari tersebut. Sayangnya aku tak pernah menemukannya. Beliau pergi sebelum sosial media booming seperti sekarang, sebelum ponsel dilengkapi kamera canggih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar