“Huaaaaa, chat ku tehapus semua” teriakku suatu hari saat
memindahkan akun Whattsap ku ke ponsel baru dan lupa mencadangkan pesan
sebelumnya. Teman-temanku yang kala itu melihatku menertawakanku kemudian
bertanya “emang ada yang pentingkah?” dan yang lain menimpali, “sedihkan chatmu
sama si A hilang?”
Iya, aku sedih karena chatku hilang. Chat dari seseorang
yang penting. Chat yang sudah ku simpan selama 3 tahun lebih dan kadang ku baca
saat rindu. Chat dari sahabatku yang sudah menjadi seorang ibu saat
sahabat-sahabatnya masih bingung memilih jalan sendiri. Chat dari sahabatku
yang tak pernah lelah menjadi alarm akhiratku.
Dia sahabat yang ku kenal di masa kuliah, yang memberiku nama panggilan Juju yang terus ku pakai sampai sekarang (awal kenal aku dipanggil Juma dan dia sangat tidak suka karena menurutnya itu nda cocok untukku), yang selalu marah karena kami terlalu sering memakai baju atau jilbab dengan warna yang sama tanpa janjian, yang dulu mendaulat dirinya sebagai pembalap Loa Janan, yang sejak awal paling tahu arah hidup yang diinginkannya dibandingkan sahabatnya yang lain.
Namanya Nadiah Husniah. Aku sering memanggilnya Nadiah, Nad,
Naynad, Nong, Nonong, dan setelah dia menjadi ibu, aku suka memanggilnya Macil
(mama kecil). Seperti aku yang suka memanggilnya dengan macam-macam panggilan,
dia pun begitu terhadapku. Dia suka memanggilku Ju, Juju, Juminten, Ndut,
Cebay.
Dulu aku sering membanggakannya diam-diam, mengatakan ke
beberapa orang mengenai betapa cerdas dan kritis dirinya. Iya, dimataku dia ini
sahabatku yang paling cerdas dan kritis. Entah kalau di mata orang lain.
Dia sahabatku yang paling pelupa, beruntung aku nda
dilupakannya.
Di antara kami semua, Nad ini yang pemikirannya paling
dewasa meski kalau merengek suaranya seperti seorang anak kecil.
Ah iya, kembali ke soal chat yang ku ratapi kehilangannya
(apa sih Ju, bahasamu ni). Itu chat ucapan selamat ulang tahun darinya untukku.
Mungkin dia lupa (pasti lupa sih, mengingat sepelupa apa si Nad ini), hari itu
dia mengucapkan selamat ulang tahun untukku disertai doa dan harapannya
untukku. Yang paling ku ingat, dia berdoa moga aku bisa lebih baik lagi dalam
beribadah dan berharap kami bisa terus bersahabat sampai di akhirat nanti. Dia
berharap, kami bisa menjadi penolong satu sama lain di akhirat nanti. Dan aku
menangis membaca chatnya hari itu. Ah, sahabatku ini. Aku berulang tahun dan
dia membuatku menangis.
Tapi aku betul-betul terharu. Bagaimana tidak. Selama ini
dia yang paling suka menasihatiku untuk memperbaiki ibadah wajibku.
Dia yang tak pernah lelah mengajakku memperbaiki ibadahku dan dengan kalimat khasnya “yang
wajib dulu diperbaiki, Insha Allah yang sunnah akan mudah dilakukan kalau yang
wajib sudah bagus”. Dan yang paling ku suka darinya tiap kali menjadi alarmku,
selalu ada kalimat “aku juga belum baik Ju, jadi ayo kita sama-sama belajar dan
memperbaiki diri”
Aku ingat kalimat yang membuat air mataku menetes pertama
kali hari itu karena kalimat, “aku harap kita bisa bersahabat sampai di akhirat
nanti ya, Ju”. Aku menangis, malu. Bagaimana mungkin sahabatku ini berharap
seperti itu padahal dia tau selalai apa ibadahku, sesering apa aku menunda
kewajibanku.
Percayalah, sahabatku ini alarm akhirat terbaik yang ku
punya. Dan sampai sekarang, saat aku dibuat lalai oleh pekerjaan, aku kadang
ditampar sama kalimat asal yang pernah dikeluarkannya saat datang di kost hari
itu “sholat nda sampai lima menit kok susah”. Entah, aku selalu suka dengan
cara Nad menamparku dengan kalimatnya.
Ah ya, dulu juga saat aku betul-betul sedih ataupun marah,
dia selalu punya cara tersendiri buat menenangkanku dan aku sering menggunakan
caranya itu untuk menenangkan orang lain. Aku nda kreatif ya, Nad. Tapi caranya
itu betul-betul ampuh.
“ambil air Ju trus wudhu. Kalo masih belum tenang, Sholat. Kalau
masih belum tenang, ambil al-Quran trus ngaji” sesimpel itu dan itu cukup ampuh
buatku.
O iya, sebelumnya aku sudah menyebutkan kalau dia sudah
menjadi ibu ya. Aku yakin, anak-anaknya sekarang pasti terdidik dengan baik.
Aku yang keras kepala dan egois aja bisa dididik dengan baik olehnya, apalagi anak-anaknya.
Nad, terima kasih untuk nda pernah lelah jadi alarmku. Terima kasih sudah menjadi guru yang baik buatku. Kamu pernah bilang, “Ju, aku nda jadi guru. Aku nda ngajar”.
Ah, Nad. Kamu ini guru terbaik buatku dan juga buat anak-anakmu. Di
antara sahabat-sahabatmu, kamu guru terbaik dengan jam kerja terbanyak dan gaji
terbesar.
Terima kasih sudah menjadi sahabatku, Macil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar